9 Oktober 2011

Celengan Nol Koma Sekian Persen ONH


Hari-hari di bulan Dzulqo’dah hingga Dzulhijjah seperti ini menjadi bulan yang ‘mellow’ banget buatku, dan itu sudah berlangsung sejak belasan tahun yang lalu. Pasalnya, di bulan tersebut adalah saat dimana ummat Muslim di dunia ini melaksanakan ibadah haji. Nah, lantas apa hubungannya bulan haji dengan mellow-nya diriku? Yups, nggak tau kenapa aku selalu saja merasakan getaran yang sangat dahsyat ketika melihat ka’bah (gambarnya ya, kan belum pernah secara langsung). Selain ka’bah, ada satu lagi ‘pernik’ haji yang ketika muncul maka silahkan sahabat sekalian menghitung mundur 3 s/d 1 maka langsung byuurrr….. melelehlah air mataku.

Labbaik Allahumma labbaik…. Labbaika laa syariika laka labbaik…

Getaran itu tak pernah sembuh dan aku pun tidak menginginkannya menghilang dari diriku. Tentunya sudah tidak perlu ditanyakan lagi sebesar apa keinginanku untuk beribadah di sana, amat sangat banget-banget very much!!!

Menyadari bahwa keinginan mulia itu haruslah diusahakan, selain dengan ibadah yang terus diperbanyak dan ditambah kualitasnya agar ‘panggilan’ itu segera datang, juga yang tidak boleh dikesampingkan adalah tabungan.

Dulu saat masih kuliah di Jakarta, secara tidak sengaja aku membeli sebuah celengan terbuat dari kaleng yang hanya terdapat satu lubang yang digunakan untuk memasukkan uang ke dalamnya, selain dari lubang tersebut tidak ada jalan lain menuju rongga di dalamnya, sehingga tak ada cara buatku untuk tergiur membukanya saat kepepet butuh duit. Berawal dari celengan seharga sepuluh ribu rupiah itulah komitmen untuk rutin mengisinya dimulai. Uang pecahan seribu rupiah yang akhirnya kupilih untuk mengisinya, alasannya karena tidak terlalu berat buat anak kost sepertiku, biasanya sisa kembalian uang angkot atau sisa beli sarapan sebelum berangkat kuliah kusisihkan dan segera kumasukkan ke dalam celengan kaleng itu. Dan yang tak kalah menyenangkan adalah karena kedua orang teman di pesantren pun mengekor, mereka ikut-ikut membeli celengan yang sama, walhasil kita bertiga pun berpacu untuk serajin mungkin mengisinya, meski tak jarang berbuntut dengan ledek-meledek kala ada satu orang yang mengisi celengannya sementara yang lain merasa sudah berminggu-minggu absen mengisi celengan.


Cieee…. Ehm..ehm..  Nyelengi teruusss! Ngisi Teruusss! Penuh, penuh, penuh!!

Ada satu lagi yang menarik dari celengan itu, di sisi kaleng tersebut kutempelkan kertas bertuliskan “ONH” alias Ongkos Naik haji. Hihihi… lucu kan?? Terlihat konyol sih, tapi nggak tau kenapa aku benar-benar sepenuh hati waktu menulisnya, dan satu lagi, aku dengan PD-nya memajang kaleng itu di atas lemari bukuku.

Saat kami bertiga telah lulus, satu persatu membuka celengan masing-masing yang memang sudah penuh. Meski membukanya di rumah masing-masing kami berkomitmen untuk saling memberitahu isi tabungan yang diperolehnya. Karena si Munay yang lulus terlebih dahulu, maka dialah yang pertama kali memecah celengannya, dan totalnya tigaratus sekian ribu. Ahhhaaa…. Aku langsung menghayal dan PD dalam hati, “pasti punyaku lebih dari 500 ribu ” karena aku masih ingat banget selain uang pecahan Rp.1000 aku juga pernah mengisinya dengan uang pecahan Rp.5000 sampai Rp.20.000. (Oh ya, by the way, Celengan si Mamah berapa ya isinya? Lupa nanyain sampai sekarang, lulusnya belakangan sih…)

Beberapa bulan berkutnya, giliran aku yang lulus dan kembali ke kampung halaman. Harusnya sih tiba waktunya aku mebuka celengan, tapi entah kenapa aku tak sampai hati membongkar kaleng berwarna pink bergambar strawberry itu. Bulan berganti bulan sampai aku masuk kuliah S2 pun tak segera kubuka. Alasannya, karena masih bingung. Bingung nanti mau diapain uangnya, nggak seberapa sih, tapi kan sayang kalau ujung-ujungnya cuman buat jajan atau beli baju, secara kan ngumpulinnya lama banget, masa iya dihabisin buat jajan begitu aja. Buat daftar haji?? Owalah… jauh banget….!!! Hehehe

Sampai suatu hari di bulan Ramadhan, aku yang gandrung banget sama sinetron Para Pencari Tuhan dibuat terharu dengan perjuangan Asrul dan Udin. Asrul, tokoh yang digambarkan amat sangat miskin, bahkan untuk makan sehari-hari pun menunggu uluran tangan dari tetangga dan juga memetik bayam yang tumbuh liar seperti rumput di kebun pak Jalal. Sementara Udin, seorang Hansip yang menyambi bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga melakukan apa saja yang disuruhkan oleh Pak Jalal kepadanya. Mereka berdua dengan gigih mengumpulkan uang gopek demi gopek, seceng demi seceng, goceng demi goceng mereka kedalam sebuah kotak kayu yang ia simpan di dalam tanah saking pengennya bisa naik haji.

Hmm… pengen deh kayak gitu. Mungkin nggak sih itu ada dalam kehidupan nyata?? Tentu sangat mungkin, karena beberapa hari yang lalu aku menyaksikan sendiri liputan di TV mengenai cerita yang serupa. Seorang janda setengah baya dengan 3 orang anak yang tinggal di sebuah desa kecil di salah satu kabupaten di Jawa tengah, sehari-hari ia tinggal di sebuah gubuk yang penuh dengan rongga cahaya di sana-sini karena terbuat dari bilik bambu dan seng yang telah lapuk. Setiap hari ia berjualan kue khas daerah setempat (aku lupa nama makanannya, yang jelas aku belum pernah menemuinya di daerah tempat tinggalku). Dengan penghasilan paling besar adalah 25.000 rupiah setiap hari, siapapun tak akan menyangka, bahwa di tahun ini ia berhasil mewujudkan impiannya untuk beribadah di tanah suci memenuhi panggilan-Nya.

Rahasianya? Ternyata si ibu sudah menabung sejak 13 tahun yang lalu, ia rajin mengumpulkan uang yang didapatnya (setelah digunakan untuk keperluan sehari-hari) dan kemudian membelanjakannya untuk membeli perhiasan emas yang kemudian ia masukkan ke dalam sebuah gelas plastik dan menguburnya di dalam tanah yang tidak lain adalah lantai rumahnya. Dari tabugnan yang disiplin ia kumpulkan itulah, tahun ini telah menggenapkan keinginannya untuk mencium Hajar Aswad dengan dibelai cinta-Nya di tanah yang sangat mulia, Makkah al-Mukarromah.

Dari situlah aku meneguhkan hatiku untuk tidak tergoda menggunakan uang celengan yang tak seberapa itu, bagaimanapun juga, sampai kapanpun juga, menunggu se-lama apapun juga, celengan itu harus tetap pada niatnya sedari awal, yaitu ONH, sesuai dengan tulisan yang masih menempel di sisi kaleng berdiameter 15 cm tersebut.

Dan setelah menganggur hampir setahun sejak kelulusanku dari S1, akhirnya celengan itu bertemu dengan nasib yang digariskan untuknya. Semua berawal tatkala kakakku yang nomer dua mengadu nasib di Jakarta, ijazah Sarjana Hukum yang digenggamnya gagal mengantarkannya untuk duduk di sebuah law firm seperti yang diidamkannya, karena nasib memaksanya banting stir dan menerima apapun peluang yang ada didepan matanya.

Lowongan sebagai marketing di Bank Mega Syari’ah pun diterimanya. Kejaran target perolehan nasabah yang harus didapatnya untuk bisa memantapkan posisinya di kantor lah yang akhirnya mau tidak mau membuat seisi rumah dibuat heboh, karena ia memaksa kami serumah untuk membuka rekening haji di bank tempat ia bekerja, tidak hanya kami serumah, saudara-saudara dekat, saudara-saudara jauh, hingga teman-teman lama pun ia todong untuk mau menyisihkan uangnya sebagai saldo awal membuka tabungan haji. Semua pun tak tega melihat dia pontang-panting mencari nasabah sebegitu banyaknya, demi memenuhi target yang bisa mengubah nasibnya dari pegawai kontrak menjadi seorang karyawan tetap, bahkan terus menanjak menjadi Team Leader hingga (kandidat) Regional Marketing Manager seperti yang telah dicapainya sekarang.

Dari situlah celenganku menemukan masa depannya, dengan minimal saldo awal sebesar Rp.200 ribu saja kami sudah bisa mendapatkan buku tabungan dan kartu ATM bergambar ka’bah.

Yes, it’s time to break the Celengan. Disaksikan orang seisi rumah, celengan kaleng itu kubuka menggunakan gunting, lembar demi lembar kubuka lipatannya dan kususun per sepuluh lembar agar lebih mudah menghitung. Deg-degan banget rasanya, rasa percaya diri bahwa isinya akan melebihi nominal 500 ribu pun perlahan berangsur-angsur memudar, karena ternyata isi celengan itu hanya Dua Ratus Enam Puluh Dua Ribu Rupiah. Alhamdulillah…. Yang penting bisa buat membuka rekening haji lah… hehehe…

Dan akhirnya fotocopy KTP beserta segepok uang seribuan itu kuserahkan kepada kakakku, Bismillahirrahmanirrahiim…. Ya Allah, tumpukan uang penuh dengan bekas lipatan ini adalah sebuah niat yang kutitipkan kepada-Mu, hanya nol koma sekian persen dari ONH, tapi itu lebih dari 100% dari keteguhan hatiku untuk segera menginjakkan kaki di tanah suci-Mu. Aku rindu Ya Allah, amat sangat rindu untuk segera bersujud dihadapan ka’bah yang berada dititik nol kilometer bumi ini. Aku rindu untuk memanjatkan syair cinta di depan makam kekasih-Mu. Aku rindu, amat sangat merindu mengucakan kalimat Talbiyah yang selama ini terus menguras air mataku.

Labbaik Allahumma Labbaik…
Labbaika Laa syariika laka labbaik…
Innalhamda wan ni’mata laka wal mulk…
Laa syariika laka…

4 comments:

budiono mengatakan...

subhanalloh.. terharu banget membaca kesungguhan ini, semoga alloh melapangkan rejekimu saudariku, sehingga niat tulusmu untuk berangkat haji bisa terlaksana dengan baik dalam waktu tidak lama lagi.. aamiin...

*jadi ingin segera tabungan haji juga*

Faiqoh Fauzie mengatakan...

Aamiin..Aamiin..Allahumma Aamiin..
Makasih Mas Dion atas doanya.

Yuk buka tabungan haji!! insyaAllah dg itu bisa makin mendekatkan niat kita pada takdir ke Al-Haramain...

haji dan umroh mengatakan...

subhanallah sangat menyentuh dan menginspirasi ceritanya, trims..

Faiqoh Fauzie mengatakan...

terima kasih...