6 Desember 2014

My Breastfeeding Story



Postingan kali ini saya mau cerita tentang perjalanan ASI eksklusif Aqueena. Saya yakin, tiap-tiap ibu pasti punya cerita sendiri tentang perjuangannya dalam memberi ASI kepada buah hatinya, bahkan tidak sedikit pula yang  meski sudah memiliki beberapa anak, akan tetapi perjuangan dalam memberi ASI nya berbeda pada tiap anak, baik suka maupun dukanya.

Sebelum hamil, saya tidak terlalu paham mengenai lika-liku dan serba-serbi pemberian ASI kepada bayi. Yang saya tahu bahwa tentu saja saya akan memberikan ASI begitu juga setiap orang tua akan memberikan ASI dengan sukses tanpa kendala apapun. Kenapa saya berpikiran seperti itu? Ya karena yang saya lihat semua saudara-saudara terdekat saya semuanya memberikan ASI, jadi pikiran saya menyimpulkan bahwa anak bayi ya pasti minumnya ASI.

Hingga saat saya akhirnya dinyatakan hamil, saya jadi punya kebiasaan baru yang menemani hari-hari mual saya di atas kasur sepanjang hari, yaitu; browsiiiiiiing tiada henti. (Hehehehe…). Dari situ saya mulai kenal akun twitter @ID_AyahASI, ketertarikan dan rasa penasaran saya terhadap akun ini akhirnya menggiring saya membaca twit-twit serta posting-posting blog mengenai perjuangan malaikat-malaikat di luar sana dalam memperjuangkan pemberian ASI untuk  buah hati mereka. Bagaimana mereka harus bersitegang dengan pihak Rumah Sakit karena ngotot menolak pemberian susu formula. Bagaimana cerita penuh derai air mata karena bersikukuh tak mau memberi susu formula meskipun orang terdekat di rumah terus menerus menuding ASI yang kurang sebagai penyebab bayinya kuning. Belum lagi cerita para ibu bekerja untuk selalu rutin memompa ASI di manapun ia berada demi mempertahankan stok ASI selalu tercukupi, dan lain sebagainya.

Dari situ saya mulai terbuka, ternyata memberikan ASI tidak semudah yang diduga, perlu diperjuangkan. Mulai dari dukungan orang terdekat, support yang kuat dari suami, dan kemauan yang ‘bandel’ dari ibu tentunya. Berdasarkan hasil baca-baca itu, saya pun jadi sering berdiskusi dengan si mas tentang hal ini, Alhamdulillah si mas sangat support, dia pun tak enggan membaca link-link postingan bagus yang saya temukan. Jadi ketika saya nemu postingn bagus, saya selalu kirimkan link-nya ke si mas untuk dibaca, begitu ada waktu ngobrol kita selalu mendiskusikannya.

Dalam perjalanan browsing-browsing, saya menemukan postingan penting yang akhirnya membuat saya tercekat, karena saya baru menyadari ternyata saya memiliki masalah yang serupa dengan cerita di postingan tersebut, yakni flat nipple (putting datar). Iya, sejak dahulu saya memang menyadari kondisi di salah satu bagian tubuh saya tersebut, PD saya yang sebelah kiri kondisinya flat nipple, namun saya tidak pernah menyangka bahwa hal itu dapat menyulitkan proses menyusui. Akhirnya saya pun semakin intens mempelajari bagaimana cara melakukan pelekatan menyusui yang benar, bagaimana menyiasati flat nipple agar bayi tetap mau menyusu, dan bagaimana membuat saya tetap percaya diri akan berhasil memberikan ASI eksklusif dengan lancar.

Perjalanan browsing saya berlanjut tentang khasiat ASI, kenapa harus ASI, kenapa tidak boleh susu formula, hingga mendownload video-video seminarnya Dr.Tiwi bertajuk “Breastfeeding 911” yang Alhamdulillah sangat sangat membantu.

Dan akhirnya, hari menyusui itu pun tiba. Beberapa menit setelah dilahirkan (aqueena lahir jam 23.30 malam), tentu saja Aqueena butuh asupan, namun tidak seperti cerita di blog-blog para ibu di luar sana yang pakai acara ngotot-ngototan antara ASI dan sufor, saat itu karena masih dalam kondisi sangat lemah usai melahirkan, saya memang mengizinkan aqueena untuk diberi sufor tengah malam itu, entahlah yang kufikirkan saat itu adalah saya ingin segera tidur, rasanya capeeeek sekali setelah seharian merasakan kontraksi dan seperti kehabisan energi setelah berjuang mengeluarkan bayi.

Esok harinya, saat aqueena sudah dimandikan dan mulai rooming-in (rawat gabung) dengan saya, barulah ASI pertama saya dihisap oleh aqueena, dengan penuh trial and error saya terus mencoba melakukan pelekatan yang benar, entah ada yang masuk ke perut atau tidak saya tidak peduli, asal aqueena melek langsung saya angkat dan saya susui, namun saat malam aqueena tidak bersama di kamar saya, maka diapun oleh perawat diberi sufor, it’s okay for me, saya memang tidak ngotot.

Setelah 2 hari di RS, kami pun pulang, dan perjuangan breastfeeding yang sebenarnya pun dimulai. Saat itu, aqueena mulai lancar menghisap ASI, otomatis produksi ASI pun semakin melimpah, akibatnya tentu saja pada PD kiri saya yang selama ini hampir tidak pernah berhasil dihisap oleh Aqueena membengkak karena isinya penuh dan tak segera dikeluarkan. Saya segera menghubungi sepupu yang saat itu masih menempuh sekolah kebidanan, atas sarannya saya disuruh membeli spet (suntikan) yang dipotong bagian atasnya untuk kemudian digunakan untuk menarik nipple yang posisinya masuk tersebut. Jangan ditanya rasanya, Ya Allaaaahh sakiiiiit banget. Dengan hati-hati Ayah Aqueena membantu saya melakukannya, saat saya menjerit, dia tampak khawatir sekali dan akhirnya berhenti. Begitu sampai berkali-kali.

Beberapa hari kemudian, saat kontrol ke dokter anak, saya mengkonsultasikan hal tersebut pada sang dokter, sarannya pun sama dengan yang disampaikan sepupu saya tempo hari, hingga akhirnya, karena merasa hampir putus asa dengan rasa sakit saat ditarik dengan spet itu, saya putuskan untuk menyerahkannya pada Aqueena, biar dia sendiri yang mencari cara menuju makanannya. Tanpa disangka dan diduga, ternyata justru dengan cara itu, aqueena malah bisa menghisap ASI saya, dengan posisi mulut yang dia pilih sendiri, dia pun berhasil mengeluarkan ASI dari PD kiri saya (meski diawali dengan dramatis alias nangis-nangis dulu), Alhamdulillah wa syukrulillaaaahh… Sampai suatu hari, salah seorang teman kantornya Ayah Aqueena datang berkunjung melihat bayi kami, saat itu dia juga sedang menyusui bayinya yang berusia 4 bulan. Ternyata dia punya masalah yang sama dengan saya, yaitu salah satu PDnya memiliki flat nipple, saat saya tanya bgaimana cara menyusuinya, dia bilang dia hanya menyusui dari satu PD saja. Wooww!!! Saya terkejut karena melihat bayinya yang sangat montok itu ternyata hanya disusui dengan satu PD. Dari situlah, saya sedikit demi sedikit menghindari ‘drama’ yang selama ini terjadi saat Aqueena kutawarin PD kiri. Iya, saya mulai berhenti menawari PD kiri saya pada Aqueena, dan merelakan ia hanya menyusu dari satu PD saja. Bismillaaaahh… semoga Allah mencukupkan ASI untuk anak saya. Allahul Kaafiy

Alhamdulillaaah… Aqueena tercukupi kebutuhan ASInya, dia tumbuh dengan baik, kenaikan berat badannya tidak ada yang kurang bahkan gemuk dan montok. Untuk mencukupi kebutuhan ASI Aqueena saat saya tinggal mengajar, ASI saya pompa secukupnya, kebetulan saya hanya mengajar 2 hari dalam seminggu, itupun hanya kurang lebih 3-4 jam dalam sehari. Makanya saya tidak ada tuntutan untuk menyetok ASI sebanyak-banyaknya, melainkan hanya secukupnya saja, paling hanya 2 x 50 ml untuk satu hari mengajar (3-4 jam), itu pun selalu masih tersisa banyak karena aqueena tidak terbiasa minum dengan dot. Saya sih tidak khawatir meskipun dia tidak mau minum ASInya, toh hanya sebentar saja saya meninggalkannya, insyaAllah tidak sampai kelaparan. (Hehehehe…)

Ohya, tanpa bermaksud apa-apa, saya punya cerita miris tentang kondisi per-ASI-an di lingkungan sekeliling saya. Jadi ceritanya, bersamaan dengan lahirnya Aqueena, tetangga di komplek perumahan saya juga banyak yang punya bayi baru lahir, kalau tidak salah ada 6 bayi yang sepantaran Aqueena, dan kebetulan hanya Aqueena yang anak ASI, selainnya semuanya minum sufor dengan tanpa dilatar belakangi pertimbangan medis apapun dan ibu-ibunya semuanya tidak bekerja di luar rumah. Terus terang saya sedih melihatnya, sebab di sisi lain, teman-teman kuliah saya baik saat S1 maupun S2 juga banyak yang punya bayi sepantaran Aqueena, dan mereka hampir semuanya adalah ibu bekerja namun dengan semangatnya berjuang sekuat tenaga memberikan ASI untuk bayi-bayi mereka.

Fenomena ini membuat saya semakin mengerti kenapa semakin banyak dan menjamur kelompok-kelompok pendukung ASI, baik dari ibu-ibu, ayah-ayah, para ikatan dokter anak dan bidan, karena memang pemahaman akan pentingnya ASI saat ini telah mengalami pergeseran yang luar biasa, banyak sekali yang tidak memahami bahwa sufor itu bukan pengganti ASI, karena ASI tak pernah tergantikan.

Saat Aqueena berumur 14 bulan, Aqueena sudah tidak banyak konsumsi ASInya, karena dia sudah mendapat banyak asupan lain di samping ASI yaitu nasi, selain itu juga dia sudah banyak menghabiskan waktunya untuk bermain sehingga jarang meminta nenen. Nah, karena permintaan menurun otomatis produksi pun mengikuti. Suatu hari, tepatnya setelah saya menghabiskan liburan semester selama 2 bulan, otomatis selama itu pula Aqueena tidak saya tinggal dan titipkan ke pegasuhnya karena saya tidak mengajar. Hari itu saya kembali mengajar, dan malam sebelumnya saya berusaha keras memompa ASI namun tidak berhasil, saya terus berusaha memompa tetap tak berhasil, ah mungkin karena baru saja diminum Aqueena, saya coba tinggal tidur dulu barangkali nanti tengah malam saat sudah lama diistirahatkan (tidak diminum) stoknya kembali banyak, namun usaha saya sia-sia, hanya SATU tetes saja yang berhasil keluar. Saya pun menyerah, yah sudahlah, gak usah dibawakan susu, toh palingan Aqueena nggak sampai kelaparan, kan dia pinter maemnya, begitu pikiran saya. Keesokan harinya, saat saya pulang mengajar dan mengambil Aqueena di rumah pengasuhnya, si pengasuh bertanya kenapa saya tidak membawakan susu dan hanya membawakan jus alpukat, dengan polosnya saya cerita kalau tadi malam saya gagal memerah ASI. Tanpa saya duga, sang pengasuh Aqueena yang selama ini kukenal tak banyak bicara ini berujar, “Kalo gitu ya dibelikan susu formula dong”, saat itu saya masih lempeng aja, “nggak ah bu, ASI yang terbaik”, eeeh dia melanjutkan “ya belikan susu formula yang bagus dan mahal lhoo, kan ada tuh yang merek ********, masa’ buat anak kok gak mau belikan susu”. Duaarrr!!! Emosi saya mendadak meletup, namun tak ada kata-kata yang keluar saking nggak menyangkanya akan ada kata-kata seperti itu yang keluar. Tanpa manjawab apapun, saya pamit pulang dalam kondisi ‘bertanduk’, bueeteeee….

Sambil jalan menuju rumah dengan hati bersungut-sungut, saya terus melakukan pembenaran dan pembelaan diri. Sesampainya di rumah, saya masih bete aja. Pegang hp, nulis status galau deh. Alhamdulillaaahh langsung bertubi-tubi bbm masuk memberikan support. Thanks ya, kawan-kawan… I love you all. Dan yang akhirnya bikin saya nggak bete lagi adalah kalimat suami “Kesel kok sama omongan orang yang nggak ngerti??!! yo nggak akan ada ujungnya, percuma!” makjlebb… hehehe…

Saat ini, Aqueena telah berusia 16 bulan, Alhamduliilaah masih ASI. Semoga bisa melanjutkannya sampai 2 tahun ya. Saat ini saya sedang rajin membaca postingan-postingan tentang cerita menyapih, untuk bekal menyapih aqueena nanti, agar tak ada acara drama nangis dan jejeritan, tak ada pahit-pahitan, tak ada drama traumatic untuk aqueena, karena kami ingin melakukannya dengan cinta. Iya, Weaning With Love (WWL). Semoga dimudahkan. Amin.

Last but not least, happy breastfeeding, Mom…. 


29 Agustus 2014

AQUEENA'S 1st BIRTHDAY

Alhamdulillaah wa syukrulillah... Bayi mungil kami telah genap berusia 1 tahun pada 26 Juli 2014 lalu. Bertepatan dengan H-2 lebaran, otomatis saat itu kami sudah berada di Lamongan (kampung halaman ayah Aqueena).

Nah, karena bertepatan dengan akhir Ramadhan, akhirnya kami putuskan untuk membuat syukuran ultahnya pas malam takbiran aja, biar seru dan keluarga besar sudah pada datang dari perantauan masing-masing

Sebetulnya tidak ada niat buat dirayakan, namun mengingat pas banget momennya sepupu-sepupu Aqueena sedang berkumpul, maka diputuskan dibuatlah syukuran seadanya sekaligus buka puasa (terakhir) bersama. Meski niatnya cuman syukuran sederhana, tapi nggak tau kenapa pengeeeen banget punya dokumentasi foto dimana Aqueena berpose bersama sebuah kue ulang tahun (hehehehe... alasannya maksa banget).

Akhirnya, 2 hari sebelumnya, sembari belanja beberapa keperluan, saya sempat intip-intip satu-satunya toko kue yang lengkap yang dekat dengan rumah. Alhamdulillah ada beberapa kue tart. Namun karena saat itu pas ke toko kue pakai sepeda motor akhirnya saya putuskan untuk membelinya besok saja sambil bawa mobil biar gampang bawanya dan karena sekalian mengambil pesanan ayam goreng.

Keesokan harinya, sampai berkali-kali saya mengintip etalase toko kue itu, seperti tidak percaya, karena kue tart sudah habis semua. Huaaaa nyesel banget pokoknya gak dibeli dari kemarin. Akhirnya demi sebuah cita-cita dokumentasi foto bersama kue ultah, 3 donat warna-warni yang nangkring di etalase toko kue pun menjadi penggantinya. hihihihi... daaaaan yang lebih 'keren' lagi adalah lilinnya, lilin mati lampu. wkwkwkwkwk...

Akhirnya, semua cerita diatas digenapkan dengan keadaan, dimana tepat sebelum acara dimulai (jam 5 sore atau menjelang buka puasa) listrik di desa kami padam!!!. Alhamdulillah... meski dalam kegelapan, dan lilin menjadi penerangnya, namun semua bahagia, suasana semarak, dan penuh kesyukuran.
 
Selamat ulang tahun ya, Nak... semoga mejadi anak yang sholehah, selalu sehat, dan menjadi pribadi yang selalu memberikan senyum dan manfaat bagi sekelilingnya. aamiin...

PS: Cake coklat yang di foto ketiga itu dibikin dan didokumentasikan satu bulan setelah perayaan yang sebenarnya. Ceritanya, baru punya mixer dan lagi doyan coba-coba. jadi iseng deh bikin sesuatu untuk menuntaskan 'cita2-cita'. wkwkwkwk...




  

 

 

4 Juni 2014

Saat My Princess 'Aqueena' Sakit :(



Sebetulnya ada banyak yang ingin saya tuliskan di blog ini mengenai perjalanan kehidupan Aqueena di hari-hari awalnya, juga tentang perjalanan breastfeeding nya, juga tentang pengalaman aqueena dengan makanan padat pertamanya. Tapi apa boleh buat, virus males emak baru ini yang membuat semuanya tertinggal di angan-angan *halah*

Sampai akhirnya, sebelum semua yang sudah tersimpan di otak itu tertulis dengan baik, datanglah sakit pertama dalam hidup my princess Aqueena. Sebagaimana diketahui oleh banyak orang, bahwa bayi yang mengkonsumsi ASI secara eksklusif memang memiliki daya tahan tubuh yang sangat kuat, Alhamdulillah Aqueena sejak lahir procot tidak pernah sakit. Hingga suatu hari di bulan februari, di saat usia Aqueena hampir 7 bulan, Ayahnya sakit demam, pilek, batuk. Tak berselang lama ganti mamanya yang sakit, demam, pilek, batuk. Alhamdulillah dengan segala ilmu yang kupelajari dari internet aku tau bahwa meski ibu sakit, bayi tetap boleh disusui, dengan catatan ibu mengenakan masker (karena virus batuk pilek ditularkan melalui udara).

Oke, sebenernya prosedur telah diikuti, namun apalah daya, tangan si anak bayi --yang sedang suka-sukanya explore segala hal yang terjangkau olehnya— bergerilya memaksa dan menarik-narik masker penutup muka ibunya. Walhasil, gagal lah itu pencegahan dengan mengenakan masker. Syukur Alhamdulillah Aqueena tetap kuat dan tidak tertular, hingga akhirnya saat batuk pilek saya sudah pamit pergi, kami sekeluarga mudik ke Sidoarjo, ke rumah Ibu. Eee ndilalah ibu (eyangnya aqueena) pas banget lagi kena virus serupa, demam, batuk, pilek. Maka jadilah si eyang sebagai tersangka utama yang menularkan virus ini (hehehe). Gimana nggak, lha wong eyang sama sekali nggak mau jauh-jauh dari cucunya, dicium, di peluk, digendong-gendong, dikeloni, pokoknya maunya nempeeeell kayak perangko, maklum saat itu sudah sebulan lebih nggak ketemu cucunya. Akhirnya ayah dan mamanya pun hanya bisa pasrah, tanpa mampu mencegah.

Demam, batuk, pilek pun akhirnya datang silih berganti. Awal mula drama sakit ini dimulai saat malam hari tiba-tiba Aqueena rewel di tengah tidurnya, nangis merintih, aku masih belum tau sebabnya, makin lama dia semakin merintih-rintih hingga menolak saat kutawari nenen. Di tengah kondisi mengantuk aku tetap  memaksa aqueena untuk mau nenen agar dia kembali tertidur, namun dia tetap menolak dan terus merintih. Lama-lama aku penasaran dan segera bangun dari tempat tidur, saat itu aku baru menyadari bahwa suhu tubuh aqueena hangat. Karena terus menolak saat ditawarin ASI akhirnya aku menggendongnya agar tenang dan tidak menangis lagi. Alhamdulillah, dia lebih tenang. Namun hanya sebentar dia kembali menangis merintih-rintih, kutimang-timang, tak lama lalu diam dan tertidur, hanya sebentar terbangun lagi dan merintih-rintih lagi, begitu berkali-kali hingga akhirnya ia tertidur lelap. Mengetahui dia sudah mulai lelap, pelan-pelan kuturunkan aqueena dari gendongan dan kutidurkan di kasur. Namun belum juga seluruh badannya menempel di kasur ia sudah terbangun dan menangis lagi. Jadilah malam itu aku menggendongnya semalaman sambil duduk dan menahan kantuk di sofa.

Pagi pun menjelang, si ibu keluar dari kamar dan melihat aku tertidur di sofa sambil mendekap aqueena dalam gendongan. Ikut panik lah beliau saat tau aqueena rewel karena demam, akhirnya kami bergantian menggendong aqueena, begitu juga ayahnya. Syukur Alhamdulillah drama demam itu tak berlangsung lama, kurang dari 2 hari demamnya kabur dan datanglah pileknya. Saat pilek aku tak begitu khawatir, selama hidungnya tidak buntu dan nafasnya tidak grok-grok, aku cukup tegar. Hingga si batuk pun datang. Kalau untuk orang dewasa seperti kita-kita batuk adalah hal yang biasa dan tidak menyakitkan. Tapi begitu melihat anak bayi yang umurnya belum genap 7 bulan sakit batuk, rasanyaaaa…. Huaaaa… nggak tega banget, apalagi kalau sampai batuk marathon di malam hari saat ia tengah tidur. Hiks, pengen nangis, nggak tegaaa…

Aku yang semula bertahan untuk tidak mau memberikan obat untuk bayiku akhirnya luluh, terutama saat hendak tidur, berharap agar aqueena bisa tidur nyenyak tanpa harus terbangun karena terganggu oleh batuk yang tak henti-henti. Kurang lebih 10 hari aqueena menderita batuk pilek, tak lupa disertai drama muntah beberapa kali yang ternyata kata dokter itu adalah cara bayi mengeluarkan dahaknya. *huaaa… kasian banget sih naakk…

Selang beberapa hari, batuk aqueena mulai mereda, hanya tinggal sesekali saja dalam sehari, huhhh… lega rasanya. Bersamaan dengan kondisi aqueena yang semakin membaik meskipun belum bisa dikatakan 100% sembuh, ayah aqueena mengajak kami untuk mudik ke Lamongan, karena bertepatan dengan libur anak sekolah sehingga saudara-saudara yang lain juga sama-sama mudik. Sebetulnya aku sendiri enggan, mengingat aqueena baru saja enak badannya, tapi ayahnya bersikeras apalagi Mbahnya di lamongan juga beberapa kali meminta aqueena segera pulang karena sudah lama tak jumpa. Yah sudahlah, aku menurut saja.

Di rumah Mbahnya di Lamongan selama 3 hari, aqueena cenderung agak rewel, selain karena kebiasaan aqueena yang memang butuh waktu agak lama untuk beradaptasi dengan tempat baru dan orang-orang baru, sepertinya sisa-sisa sakit aqueena masih ada, walhasil selama di Lamongan aqueena nempel terus sama mamanya, dan mamanya gagal berleha-leha karena aqueena hanya mau sama mamanya saja.

Minggu malam kita pulang kembali ke Menganti diantar oleh sepupu. Keesokan harinya, badan aqueena kembali hangat, aku lupa berapa suhunya, hingga sore tiba, saat aku masih menemani anak-anak ngaji di teras rumah, ayah aqueena yang sedang momong di dalam rumah tampak sibuk berganti baju dan berkemas. Begitu semua anak-anak selesai mengaji dan aku masuk rumah, si ayah segera memerintahku untuk berkemas karena suhu badan aqueena mencapai 40 derajat celcius. Tentu saja aku kaget, namun aku berusaha setenang mungkin dan segera mengganti baju serta bersiap.

Tujuan pertama tentu saja ke tempat yang terdekat. Karena belum pernah membawa aqueena ke dokter sebelumnya, akhirnya berbekal informasi dari tetangga kami bergegas menuju rumah praktek dokter spesialis anak yang lokasinya tidak jauh dari daerah tempat kami tinggal. Sesampainya disana, ternyata masih tutup, saat itu waktu menunjukkan pukul 17.00. dan ternyata dr.Wiwik,Sp.A itu baru membuka prakteknya jam 19.00. si ayah mengajakku pulang  ke rumah dan kembali lagi nanti malam, tapi aku menolak. Kepalang tanggung, sudah keluar rumah ya mending kita cari dokter yang lain. Pilihan terdekat adalah RSI Darusy Syifa Benowo. Tanpa memakai helm dan membawa perlengkapan apapun kami nekat kesana sore itu juga. Di RSI, dokter anak yang sedang praktek saat itu adalah dokter Feri. Setelah diperiksa, dokter tidak bisa memberikan diagnosa apa-apa karena memang baru hari pertama demam, hanya diresepkan obat penurun panas. Sebetulnya dokter Feri juga meresepkan antibiotic, tapi beliau menyarankan untuk menunda dulu memberikan antibiotic kecuali jika setelah 3 hari masih tetap demam.

Sesampainya di rumah, demam aqueena naik turun terus. Saat demam tinggi, diberi penurun panas, kemudian turun. Selang beberapa jam, naik lagi, diberi penurun panas, lalu turun. Begitu terus pola demamnya. Saat malam tiba, di tengah tidurnya ia terjaga, berganti-ganti posisi tidur seolah mencari yang nyaman sambil merintih, merintih dan terus merintih. Tak lama ia pun menangis tak henti, segera aku memeluknya agar ia merasa nyaman, tapi aqueena meronta. Kuambil obat penurun panas dan sebisa mungkin kumasukkan ke dalam mulutnya yang tak berhenti menangis itu, ia pun semakin menangis. Kuangkat tubuhnya dari tempat tidur dan kugendong sambil sebisa mungkin menyalakan kompor untuk menghangatkan air. Dengan sebelah tangan, kukompres tubuhnya yang sangat panas itu, namun aqueena selalu berusaha menarik dan membuang lap basahnya dengan terus merintih dan menangis. Jadilah sepanjang malam itu aku begadang untuk menggendongnya dan menidurkannya dalam gendongan dan dekapanku. Sambil menggendong dan meredakan tangisnya, tanpa kusadari akupun tak bisa menahan air mataku. Aku ikut menangis tersedu-sedu sambil terus mendekapnya, entah apa yang ada dalam pikiranku, yang jelas segala sesuatu yang buruk begitu menghantuiku. Ya Allah…. Adzhibil ba’sa Robbannas, isyfi walady wa Antasy Syafiy laa syaafiya illa Anta syifa’an laa yughoodiru saqoma.

Empat hari berlalu, siang hari di hari Jum’at aqueena kembali demam tinggi, ayah aqueena yang biasanya jika hari jumat pulang sebelum dhuhur kali itu belum pulang juga. Aqueena menangis tak berhenti, kuukur suhu badannya, hampir 41 derajat celcius. Aku panik bukan kepalang, segera kuminta si ayah segera pulang, tapi apa hendak dikata ada urusan yang sangat penting dan tak dapat ditunda sehingga harus pulang lebih siang. Aku bingung harus berbuat apa, bagaimana kalau terjadi ini? Bagaimana kalau terjadi itu? Segala hal buruk berebut mengisi pikiranku. Akupun kembali menangis tak karuan. Kupeluk aqueena dan kuciumi wajahnya, tak henti-henti kubaca doa apa saja yang mampu kulafalkan ditengah tangisku siang itu. Ya Allaahhh… beri pertolongan-Mu, sembuhkan anak hamba, Ya Allah…

Menjelang Ashar ayah aqueena baru datang, usai sholat ashar kami segera meluncur menemui dokter Feri di RSI. Tanpa banyak pertimbangan lagi kami diminta melakukan cek darah di laboratorium, untuk memastikan apakah ada indikasi DB, typhus, atau yang lain. Setelah hasilnya keluar, terlihat bahwa kadar Leukosit pada darah aqueena cukup tinggi, mencapai 21ribu yang artinya ada infeksi bakteri dalam tubuhnya. Berdasarkan hasil lab tersebut akhirnya antibiotik mau tidak mau harus diminumkan.

Sepulang dari RSI, malam harinya demam aqueena masih berpola sama seperti sebelumnya, namun kali ini ada hal yang baru, yaitu disertai diare. Awalnya kukira dia BAB seperti biasa, karena sebagai anak ASI memang pola BAB aqueena tidak bisa diprediksi, namun malam itu aqueena berkali-kali BAB dan lama-kelamaan konsistensinya berubah menjadi sangat cair, berbuih dan melalui drama ‘ngeden’. Selama ini aku belum pernah melihat bayiku ngeden saat BAB, namun saat diare itu meskipun yang dikeluarkannya kotoran yang sangat cair, malah hampir tidak ada ampasnya, namun selalu melalui proses ngeden yang sangat sakit karena aqueena selalu menangis saat ngeden. Nggak tega banget deh pokoknya, tiap kali dia ngeden dan menangis aku selalu mendudukkannya di pangkuanku dan menghadapkan mukanya pada dadaku sembari kupeluk, dalam pelukan itu ia ngeden sambil menangis kesakitan.

Karena saat di dokter Feri kami tidak diberi gambaran tentang kemungkinan terjadinya diare, akhirnya pagi itu ayah aqueena mengajak kembali ke dokter, namun aku enggan. Tiba-tiba teringat salah seorang teman yang sekaligus saudara yang suaminya sedang menyelesaikan pendidikan spesialis anak. Melalui sambungan telpon akhirnya kami berkonsultasi, Alhamdulillah, meskipun hanya lewat telpon kami bisa leluasa bertanya dan meminta penjelasan atas sakit aqueena, sembari membacakan hasil lab dan resep yang sudah diberikan dokter Feri. Atas penjelasan saudara kami tersebut kami akhirnya lebih tenang, sebab diare yang diderita aqueena memeng lanjutan dari demamnya beberapa hari ini, kami pun diberi saran untuk membeli obat tertentu untuk mengatasi diarenya serta obat untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya.

Alhamdulillah, 2 hari berselang Aqueena sembuh total (berdasarkan pengamatan ayah dan ibunya aja sih) hehehe…. Dari pengalaman ini, aku banyak sekali memetik pelajaran berharga yang di kemudian hari bisa membuatku lebih baik dalam merawat aqueena. Kini, saat usia aqueena sudah menginjak 10 bulan, dan telah beberapa kali sakit, aku sudah semakin terampil merawatnya, tidak ada lagi panik berlebihan, tidak ada lagi drama nangis-nangisan, dan lebih bijak dalam memberikan obat. Karena aku semakin giat belajar dan membaca artikel-artikel kesehatan dan perawatan anak sakit di internet, aku mulai sedikit demi sedikit mempraktekkan home treatment untuk anakku. Alhamdulillah, semakin jarang memberikan obat pada aqueena, semakin terampil memberikan perawatan sendiri tanpa obat, semakin berhati-hati mencegah hal-hal yang bisa membuatnya sakit.

Terimakasih Ya Allah

Sehat terus ya, Nduk… Mama sayang Aqueena 3>