17 Februari 2009

Iklan Politik; Sebuah Trik Resiprokal

‘Jadi pilihlah aku!’, semua orang pasti setuju kalau petikan kalimat pamungkas dari lagu yang pernah dipopulerkan oleh Diva Pop Indonesia —Krisdayanti-- ini sangat tepat digunakan untuk menyingkat dan menyimpulkan ratusan bahkan ribuan kalimat yang digunakan oleh partai politik dalam berbagai iklannya.

Tahun ini, Indonesia memiliki serentetan hajatan pemilu. Mulai dari Pemilihan Legislatif, Pemilihan Partai, hingga Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebenarnya ini bukanlah hal baru, sebab rentetan Pemilu telah dirasakan selama tahun 2008 kemarin. Pada musim pemilu seperti ini, manuver-manuver politik gencar disuguhkan oleh para mereka yang berkepentingan memperoleh sebanyak mungkin simpati dari rakyat sebagai pemilihnya.

Lihat saja iklan-iklan politik yang kerap menghiasi layar kaca kita, seolah berlomba beranjangsana memenuhi ruang publik dengan segala kreatifitas hasil pengemasan para Advertiser yang tak jarang memunculkan reaksi masyarakat yang beragam. Tidak dapat disangkal, bahwa tradisi ini memang cukup ampuh untuk menaklukkan hati masyarakat dalam menjatuhkan pilihan, sebab bagaimanapun juga banyaknya partai-partai baru yang terus bermunculan menuntut mereka untuk mensosialisasikan diri secara intensif demi mendapatkan simpati atau setidaknya sekedar membuat tahu masyarakat atas keberadaan mereka.

Sosialisasi sendiri bukan hanya wajib dan diperuntukkan bagi partai-partai baru, karena ternyata partai-partai lama dan besarlah yang justru terlihat memiliki kepentingan yang lebih besar atas pemenangan pemilu. Taruhlah Partai A, B, C, dan D, yang tiap hari mempertontonkan diri di layar kaca, dengan mengusung materi dan pengemasan yang beraneka ragam, bahkan tak jarang hingga saling berebut klaim.
Strategi mengemukakan prestasi demi prestasi yang pernah dicapai oleh partai saat memegang estafet pemerintahan memang dianggap sebagai senjata yang cukup ampuh dalam menggaet massa sebanyak-banyaknya, sebab dari situlah Partai Politik berusaha mengingatkan kepada masyarakat bahwa dalam kurun waktu pemerintahan di bawah kepemimpinannya, terdapat prestasi gemilang yang perlu diingat oleh rakyat dan diharap rakyat --yang ingin prestasi tersebut terus berlanjut-- menjatuhkan pilihan kepada mereka.

Hukum Resiprokal
Berhasil menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak tiga kali, berhasil menyukseskan swasembada pangan, berhasil mengatasi konflik di beberapa daerah, berhasil menstabilkan harga sembako, dan lain sebagainya. Berbagai klaim digunakan oleh masing-masing partai sebagai pencapaian yang patut diingat oleh masyarakat sebagai prestasi.

Mengklaim sebuah pencapaian untuk membeli suara masyarakat memang sebuah cara yang tidak dapat dipersalahkan, bahkan boleh dibilang sebagai cara cerdas. Sedikit berlebihan memang, namun tidak demikian manakala kita mengetahui bahwa strategi itu ternyata memang cara yang sangat ampuh dan ironisnya sering hampir tidak dipahami oleh masyarakat bahwa sesungguhnya strategi itu berjalan sebagai trik resiprokal. Dalam Psikologi Persuasif, hukum resiprokal dikatakan sebagai aturan social yang membuat kita –yang tidak menyadari telah berada dalam lingkaran hukum itu—seolah-olah berhutang dan wajib membalasnya.

Resiprokal sendiri yang berarti timbal balik bukanlah suatu hukum tertulis dan berpasal, sebab dalam timbal balik ini hukum berjalan karena aturan social dalam masyarakat. Taruhlah contoh yang sering digunakan oleh perusahaan-perusaan yang sering melakukan pemasarannya dengan cara menyuguhkan agenda pengobatan gratis kepada masyarakat, dengan memajang berbagai atribut produk yang kemudian secara tidak sadar masyarakat seolah memiliki kewajiban sebagai balas jasa atas pengobatan gratis yang diterimanya dengan membeli produk yang ditawarkan.

Bukan hanya itu, strategi yang sama juga pernah marak digunakan oleh pengikut sekte Hare Krishna yang dahulu sangat dikenal oleh masyarakat di India, modus yang digunakan adalah dengan cara membagi-bagikan hadiah-hadiah kecil, seperti buku dan sekuntum bunga kepada setiap orang yang berlalu-lalang di tempat umum, dari situ kemudian masyarakat –karena merasa telah diberi sesuatu-- secara suka rela membalasnya dengan memberikan sumbangan yang tidak lain adalah digunakan untuk membiayai kehidupan kelompok tersebut.

Maka tidak heran jika untuk mendapatkan perhatian sebanyak-banyaknya, partai politik menggunakan jalan mengingatkan masyarakat atas jasa, keberhasilan dan dedikasi yang telah diberikan oleh sebuah partai politik kepada rakyat. Tidak dapat dipersalahkan juga jika efek dari langkah tersebut memang benar-benar membuat rakyat cenderung memberikan suaranya, namun untuk diketahui bahwa tidak ada satupun aturan yang mewajibkan kita merespon dengan memberikan suara, sebab bagaimanapun juga aturan resiprokal lebih bersifat sosial.

Perasaan tidak nyaman apabila tidak memenuhi permintaan setelah sebelumnya mendapatkan sesuatu dari mereka, itulah sasarannya. Sehingga perasaan tidak nyaman itulah yang mendorong kita untuk berbuat sesuatu sebagai balasannya.

Cara Menyikapi
Sejatinya, sebagai hukum yang tidak menuliskan kewajiban untuk membalasnya, kita memiliki hak yang seluas-luasnya untuk melakukan penolakan. Selama kita bisa melihat dan mendefinisikan bahwa aksi yang dilakukan oleh seseorang adalah lebih sebagai alat untuk menundukkan kita ketimbang memberi sebuah jasa atau bantuan, maka orang tersebut tidak lagi memiliki hukum resiprokal sebagai sekutunya. Hukumnya mengatakan bahwa sebuah jasa atau bantuan seharusnya dibalas dengan jasa atau bantuan yang sama; tidak disebutkan bahwa sebuah trik harus dibalas dengan jasa atau bantuan.

Jelaslah bahwa sebuah ‘dedikasi’ yang telah diberikan sepatutnya kita telaah terlebih dahulu, apakah benar-benar dedikasi untuk rakyat, ataukah hanya sebuah trik pemenangan, apakah pencapaian benar-benar dilakukan untuk rakyat, ataukah hanya sebuah trik pra pemilu. Semua kembali kepada rakyat tentunya, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dan sebagai pemegang otoritas mutlak atas suaranya sendiri.

4 Februari 2009

Empat Februari; in My Birthday


Waktu yang terus mewaktu, perjalanan terus bergerak tanpa bisa disadur. Hanya tangan yang tergerak ke angkasa dan mata yang menatap ujungnya langit yang mahabiru. Tak ada yang menyangsikan bahwa segala sesuatu selalu menyimpan, menyimpan apa-apa yang sudah terbenam di lorong-lorong sejarah. Orang kemudian menyebutnya dengan nostalgia.

Hari ini ada karena hari lalu tak teringkari, banyak noktah menghiasi, tapi bukan untuk dijadikan alasan membenci hari ini dan bahkan hari esok. Demi Tuhan, satu detik hari ini tidak mengulang sari satu detik pun di hari lalu, dan tak kan pernah terulang di satu detik hari esok, sampai kapanpun.

Bak melihat kaca spion, memandang masa lalu tidak harus dengan menoleh ke belakang, cukup dikaca, agar dapat menghindar dari kesalahan hari lalu, dan tetap lurus menghadap jalan yang terus berjalan menuju hari esok.

Baarakallahu lanaa fi ‘umuurinaa