9 Oktober 2011

Celengan Nol Koma Sekian Persen ONH


Hari-hari di bulan Dzulqo’dah hingga Dzulhijjah seperti ini menjadi bulan yang ‘mellow’ banget buatku, dan itu sudah berlangsung sejak belasan tahun yang lalu. Pasalnya, di bulan tersebut adalah saat dimana ummat Muslim di dunia ini melaksanakan ibadah haji. Nah, lantas apa hubungannya bulan haji dengan mellow-nya diriku? Yups, nggak tau kenapa aku selalu saja merasakan getaran yang sangat dahsyat ketika melihat ka’bah (gambarnya ya, kan belum pernah secara langsung). Selain ka’bah, ada satu lagi ‘pernik’ haji yang ketika muncul maka silahkan sahabat sekalian menghitung mundur 3 s/d 1 maka langsung byuurrr….. melelehlah air mataku.

Labbaik Allahumma labbaik…. Labbaika laa syariika laka labbaik…

Getaran itu tak pernah sembuh dan aku pun tidak menginginkannya menghilang dari diriku. Tentunya sudah tidak perlu ditanyakan lagi sebesar apa keinginanku untuk beribadah di sana, amat sangat banget-banget very much!!!

Menyadari bahwa keinginan mulia itu haruslah diusahakan, selain dengan ibadah yang terus diperbanyak dan ditambah kualitasnya agar ‘panggilan’ itu segera datang, juga yang tidak boleh dikesampingkan adalah tabungan.

Dulu saat masih kuliah di Jakarta, secara tidak sengaja aku membeli sebuah celengan terbuat dari kaleng yang hanya terdapat satu lubang yang digunakan untuk memasukkan uang ke dalamnya, selain dari lubang tersebut tidak ada jalan lain menuju rongga di dalamnya, sehingga tak ada cara buatku untuk tergiur membukanya saat kepepet butuh duit. Berawal dari celengan seharga sepuluh ribu rupiah itulah komitmen untuk rutin mengisinya dimulai. Uang pecahan seribu rupiah yang akhirnya kupilih untuk mengisinya, alasannya karena tidak terlalu berat buat anak kost sepertiku, biasanya sisa kembalian uang angkot atau sisa beli sarapan sebelum berangkat kuliah kusisihkan dan segera kumasukkan ke dalam celengan kaleng itu. Dan yang tak kalah menyenangkan adalah karena kedua orang teman di pesantren pun mengekor, mereka ikut-ikut membeli celengan yang sama, walhasil kita bertiga pun berpacu untuk serajin mungkin mengisinya, meski tak jarang berbuntut dengan ledek-meledek kala ada satu orang yang mengisi celengannya sementara yang lain merasa sudah berminggu-minggu absen mengisi celengan.


Cieee…. Ehm..ehm..  Nyelengi teruusss! Ngisi Teruusss! Penuh, penuh, penuh!!

Ada satu lagi yang menarik dari celengan itu, di sisi kaleng tersebut kutempelkan kertas bertuliskan “ONH” alias Ongkos Naik haji. Hihihi… lucu kan?? Terlihat konyol sih, tapi nggak tau kenapa aku benar-benar sepenuh hati waktu menulisnya, dan satu lagi, aku dengan PD-nya memajang kaleng itu di atas lemari bukuku.

Saat kami bertiga telah lulus, satu persatu membuka celengan masing-masing yang memang sudah penuh. Meski membukanya di rumah masing-masing kami berkomitmen untuk saling memberitahu isi tabungan yang diperolehnya. Karena si Munay yang lulus terlebih dahulu, maka dialah yang pertama kali memecah celengannya, dan totalnya tigaratus sekian ribu. Ahhhaaa…. Aku langsung menghayal dan PD dalam hati, “pasti punyaku lebih dari 500 ribu ” karena aku masih ingat banget selain uang pecahan Rp.1000 aku juga pernah mengisinya dengan uang pecahan Rp.5000 sampai Rp.20.000. (Oh ya, by the way, Celengan si Mamah berapa ya isinya? Lupa nanyain sampai sekarang, lulusnya belakangan sih…)

Beberapa bulan berkutnya, giliran aku yang lulus dan kembali ke kampung halaman. Harusnya sih tiba waktunya aku mebuka celengan, tapi entah kenapa aku tak sampai hati membongkar kaleng berwarna pink bergambar strawberry itu. Bulan berganti bulan sampai aku masuk kuliah S2 pun tak segera kubuka. Alasannya, karena masih bingung. Bingung nanti mau diapain uangnya, nggak seberapa sih, tapi kan sayang kalau ujung-ujungnya cuman buat jajan atau beli baju, secara kan ngumpulinnya lama banget, masa iya dihabisin buat jajan begitu aja. Buat daftar haji?? Owalah… jauh banget….!!! Hehehe

Sampai suatu hari di bulan Ramadhan, aku yang gandrung banget sama sinetron Para Pencari Tuhan dibuat terharu dengan perjuangan Asrul dan Udin. Asrul, tokoh yang digambarkan amat sangat miskin, bahkan untuk makan sehari-hari pun menunggu uluran tangan dari tetangga dan juga memetik bayam yang tumbuh liar seperti rumput di kebun pak Jalal. Sementara Udin, seorang Hansip yang menyambi bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga melakukan apa saja yang disuruhkan oleh Pak Jalal kepadanya. Mereka berdua dengan gigih mengumpulkan uang gopek demi gopek, seceng demi seceng, goceng demi goceng mereka kedalam sebuah kotak kayu yang ia simpan di dalam tanah saking pengennya bisa naik haji.

Hmm… pengen deh kayak gitu. Mungkin nggak sih itu ada dalam kehidupan nyata?? Tentu sangat mungkin, karena beberapa hari yang lalu aku menyaksikan sendiri liputan di TV mengenai cerita yang serupa. Seorang janda setengah baya dengan 3 orang anak yang tinggal di sebuah desa kecil di salah satu kabupaten di Jawa tengah, sehari-hari ia tinggal di sebuah gubuk yang penuh dengan rongga cahaya di sana-sini karena terbuat dari bilik bambu dan seng yang telah lapuk. Setiap hari ia berjualan kue khas daerah setempat (aku lupa nama makanannya, yang jelas aku belum pernah menemuinya di daerah tempat tinggalku). Dengan penghasilan paling besar adalah 25.000 rupiah setiap hari, siapapun tak akan menyangka, bahwa di tahun ini ia berhasil mewujudkan impiannya untuk beribadah di tanah suci memenuhi panggilan-Nya.

Rahasianya? Ternyata si ibu sudah menabung sejak 13 tahun yang lalu, ia rajin mengumpulkan uang yang didapatnya (setelah digunakan untuk keperluan sehari-hari) dan kemudian membelanjakannya untuk membeli perhiasan emas yang kemudian ia masukkan ke dalam sebuah gelas plastik dan menguburnya di dalam tanah yang tidak lain adalah lantai rumahnya. Dari tabugnan yang disiplin ia kumpulkan itulah, tahun ini telah menggenapkan keinginannya untuk mencium Hajar Aswad dengan dibelai cinta-Nya di tanah yang sangat mulia, Makkah al-Mukarromah.

Dari situlah aku meneguhkan hatiku untuk tidak tergoda menggunakan uang celengan yang tak seberapa itu, bagaimanapun juga, sampai kapanpun juga, menunggu se-lama apapun juga, celengan itu harus tetap pada niatnya sedari awal, yaitu ONH, sesuai dengan tulisan yang masih menempel di sisi kaleng berdiameter 15 cm tersebut.

Dan setelah menganggur hampir setahun sejak kelulusanku dari S1, akhirnya celengan itu bertemu dengan nasib yang digariskan untuknya. Semua berawal tatkala kakakku yang nomer dua mengadu nasib di Jakarta, ijazah Sarjana Hukum yang digenggamnya gagal mengantarkannya untuk duduk di sebuah law firm seperti yang diidamkannya, karena nasib memaksanya banting stir dan menerima apapun peluang yang ada didepan matanya.

Lowongan sebagai marketing di Bank Mega Syari’ah pun diterimanya. Kejaran target perolehan nasabah yang harus didapatnya untuk bisa memantapkan posisinya di kantor lah yang akhirnya mau tidak mau membuat seisi rumah dibuat heboh, karena ia memaksa kami serumah untuk membuka rekening haji di bank tempat ia bekerja, tidak hanya kami serumah, saudara-saudara dekat, saudara-saudara jauh, hingga teman-teman lama pun ia todong untuk mau menyisihkan uangnya sebagai saldo awal membuka tabungan haji. Semua pun tak tega melihat dia pontang-panting mencari nasabah sebegitu banyaknya, demi memenuhi target yang bisa mengubah nasibnya dari pegawai kontrak menjadi seorang karyawan tetap, bahkan terus menanjak menjadi Team Leader hingga (kandidat) Regional Marketing Manager seperti yang telah dicapainya sekarang.

Dari situlah celenganku menemukan masa depannya, dengan minimal saldo awal sebesar Rp.200 ribu saja kami sudah bisa mendapatkan buku tabungan dan kartu ATM bergambar ka’bah.

Yes, it’s time to break the Celengan. Disaksikan orang seisi rumah, celengan kaleng itu kubuka menggunakan gunting, lembar demi lembar kubuka lipatannya dan kususun per sepuluh lembar agar lebih mudah menghitung. Deg-degan banget rasanya, rasa percaya diri bahwa isinya akan melebihi nominal 500 ribu pun perlahan berangsur-angsur memudar, karena ternyata isi celengan itu hanya Dua Ratus Enam Puluh Dua Ribu Rupiah. Alhamdulillah…. Yang penting bisa buat membuka rekening haji lah… hehehe…

Dan akhirnya fotocopy KTP beserta segepok uang seribuan itu kuserahkan kepada kakakku, Bismillahirrahmanirrahiim…. Ya Allah, tumpukan uang penuh dengan bekas lipatan ini adalah sebuah niat yang kutitipkan kepada-Mu, hanya nol koma sekian persen dari ONH, tapi itu lebih dari 100% dari keteguhan hatiku untuk segera menginjakkan kaki di tanah suci-Mu. Aku rindu Ya Allah, amat sangat rindu untuk segera bersujud dihadapan ka’bah yang berada dititik nol kilometer bumi ini. Aku rindu untuk memanjatkan syair cinta di depan makam kekasih-Mu. Aku rindu, amat sangat merindu mengucakan kalimat Talbiyah yang selama ini terus menguras air mataku.

Labbaik Allahumma Labbaik…
Labbaika Laa syariika laka labbaik…
Innalhamda wan ni’mata laka wal mulk…
Laa syariika laka…

6 Oktober 2011

TAK SEKEDAR NYAMPAH


Jadi ibu rumah tangga di rumah sendiri (baca: gak bareng ortu) otomatis semua pekerjaan rumah juga di handle sendiri, jadi ngerti kenapa Bu Sisca Suwitomo membuat buku resep masakan untuk menu selama 30 hari muali untuk sarapan pagi, makan siang dan makan malam beserta makanan-makanan selingannya, ternyata meskipun udah lumayan bisa masak tapi masalah justru muncul dari menentukan ide “apa menu hari ini?”. Sudah di depan tukang sayur, ngubek sana ngubek sini, lammmaaa, dan bingung mau beli apaan. Dan akhirnya belanja itu lagi…itu lagi... Hmm… untung sekarang ada buku menu ini. Bu Sisca, makasih ya bukunya, sangat membantu sekali lho!

Problem dapur ternyata belum selesai sampai di situ, karena ada urusan yang tak kalah penting dan tak dapat dihindari adalah sampah. Di dalam rumah kami terdapat 1 buah tempat sampah, dan di luar pagar ada 1 lagi yang lain yang tiap hari diangkut oleh petugas kebersihan komplek. Kalau dulu masih tinggal serumah dengan Ibu, aku termasuk jarang membuang sampah dari tempat sampah di dalam rumah menuju tempat sampah yang di luar, sekarang saat sudah tinggal di rumah sendiri otomatis akulah yang meng-handle. Tanggungjawab baru inilah yang akhirnya membuatku baru menyadari begitu banyaknya volume sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap harinya. Sangat terasa sekali, perasaan baru saja melapisi tampat sampah dengan kantong plastik yang baru, eee sudah penuh aja dan membuangnya kembali ke luar dan memasang plastik baru lagi. Fiuuuhhh… pantesan Stadion Gelora Bung Tomo yang megah itu tidak juga difungsikan akibat lokasinya yang berdekatan dengan TPA Benowo sebagai tempat pembuangan akhir sampah warga Surabaya yang menggunung.

Sebagai mantan aktivis lingkungan hidup (bo’ong-bo’ongan tapinya, hehehe) aku tentu saja merasa bersalah karena turut menyumbang gundukan sampah di TPA apalagi tanpa usaha untuk meminimalisirnya. Hmm… gimana ya enaknya…???

Aku meminta suami buat belikan tempat sampah satu lagi supaya sampah langsung bisa kupilah dari rumah antara yang kering dan basah, doi menyanggupi, tapi tempat sampah yang kupesan tak juga duduk di depan rumah, hmmm…

Akhirnya kebiasaan baru yang baik itupun dimulai, berawal karena resah atas menipisnya stok plastik berukuran besar yang muat dipakai alas tempat sampah. Jadi ceritanya selama ini meskipun plastik tersebut belum berisi penuh oleh sampah tapi mau tak mau harus dioper ke luar karena sudah mulai bau basi oleh sisa makanan. Nah, karena untuk ngirit plastik besar akhirnya aku mulai menghentikan kebiasaan membuang sampah makanan (sampah dapur / sampah basah) ke dalam tempat sampah melainkan langsung kubuang di plastik kecil dan langsung dibuang ke tong sampah depan rumah begitu dapur selesai dibersihkan usai memasak pagi hari. Dari situlah kemudian setelah beberapa hari aku baru menyadari bahwa sebenarnya nggak se-banyak itu sampah yang dihasilkan di rumah kami dan membuatku lebih jarang menggonta-ganti plastik besar untuk alas tempat sampah, karena ternyata sampah organik (sisa potongan sayur, kulit buah, sisa makanan, nasi, dll) lebih banyak volumenya dari pada sampah non-organik (plastik detergent, bungkus permen, cotton-bud, botol minuman, dll).

Dari alasan yang tidak disengaja itulah akhirnya aku mulai terampil memilah sampah, nanti kalau sudah punya tong sampah yang representatif aku mau mulai meng-komposter sendiri sampah rumah tanggaku aaah… Ternyata memilah sampah itu nggak berat kok. Yuk kita mulai membiasakan memilah sampah dari rumah!! Biar bumi kita makin indah. OK, sahabat!!

5 Oktober 2011

(a lil story of) MY NEW LIFE


Setelah merenovasi template blog, sekarang jadi pengen nulis macem-macem (hihihi… padahal udah setahun lebih lho gak nulis), selain itu juga karena udah males banget nengokin Facebook, jadi blogwalking aja, cari-cari inspirasi dan motivasi buat seru-seruan dan lucu-lucuan.

Sepanjang tahun 2010 hingga saat ini yang sudah memasuki kuartal akhir tahun 2011 aku sangat sedikit menulis, terutama di blog (karena kalau di note Facebook kulihat masih lumayan ada tulisan yang menghiasi). Padahal di sepanjang waktu itu, ada banyaaaak sekali hal yang sangat bermakna dan pantas kuabadikan dalam tulisan yang kelak bisa kujadikan obat rindu di masa nanti.

4 Juli 2010, menjadi hari dimana fase kehidupanku berubah warna, karena di hari itu secara langsung Allah Yang Maha Pengasih mempertautkanku dalam ikatan suci pernikahan. “Horrayy… Gue punya laki” (Idiiih… gak banget sih ekspresinya. hahaha). Di bulan-bulan awal pernikahan kami berangkat ke tempat beraktifitas setiap hari dari rumah Ibu di Sidoarjo. Untungnya 3 bulan pertama aku mendapat tempat praktek di RSUD Sidoarjo, jadi kepleset aja nyampe. Tapi selanjutnya, kami setiap hari berjibaku dengan kemacetan perjalanan Sidoarjo – Surabaya yang sangat padat di pagi hari. Kalau ada yang tanya, “Capek???”, kujawab, “ Banget!!!”. Sempat akhirnya kami memutuskan untuk nge-kost berdua karena di periode selanjutnya tugas praktek menempatkanku di Surabaya dan masuknya pagi sekali. Banyak sekali pengalaman menarik selama hidup di kost (maklum, baru pertama kali ngekost, karena pas S1 dulu setahun di Asrama, dua tahun di Pesantren, dan di tahun terakhir ngontrak rumah). Tapi keseruan nge-kost ceritanya akan kubuat sendiri di lain waktu.

Di tengah kepungan dinding kamar kost yang sempit itulah, kami merencanakan langkah baru dalam hidup, yakni membangun rumah. Yups! Karena rumah yang sudah dibeli masih belum siap dihuni, sehingga butuh renovasi di sana-sini supaya bisa segera ditempati. Menghitung-hitung isi tabungan, Hmm.. ternyata sebentar lagi ganti semester, kita berdua masih harus membayar biayanya, tidak sedikit tentunya, karena postgraduate, dua orang pula.

Tanpa disangka-sangka, Allah Yang Maha Baik menurunkan Malaikat Mikail membawa beasiswa sehingga biaya kuliah keluar dari daftar kebutuhan kami. Oke, mulai menggambar desain rumah. Coret sana, coret sini, yang satu mulai menggambar, yang lain merebut ingin mengoreksi, berebut kertas dan pulpen, akhirnya ambil kertas sendiri-sendiri dan sibuk dengan imajinasinya sendiri. Huhh… berhari-hari, berminggu-minggu, tak juga menemukan desain yang disepakati berdua. Iiihh… gemes deh, begini nih kalo sok jadi arsitek sendiri-sendiri. Hehehe…. Hingga akhirnya, ada peri penyelamat, seorang arsitek yang tidak lain adalah teman suami semasa tinggal di asrama. Cihuuuy, dua pilihan desain rumah yang sangat cantik, dan setelah diperiksa berkali-kali, tidak satupun dari desain corat-coret kami yang sama dengan dua desain cantik itu, bahkan mendekati mirip pun tidak. (hihihi… pinter banget sih Mas Arsitek ini, pantesan sekolahnya mahal… hahaha)

Selanjutnya mencari tukang bangunannya. Puyeng muter-muter, minta tolong cariin kesana –kemari tapi belum nemu juga, akhirnya pulang kampung deh, dan membawa tukang Bangunan dari kampung mertua. Oke, Start Now! Karena tidak ada mandor yang men-supervisi, kami pun rela berpeluh-peluh dan berbagi tugas. Pagi berangkat dari Sidoarjo, sampai di Surabaya kami berpisah, yang satu menuju kampus, yang satu lagi menuju kantor kampus. Selesai dengan aktifitas masing masing, aku naik angkot ke tempat janjian dengan suami dan kemudian bersama-sama menuju ‘proyek’.

Setiap hari seperti itu dan diakhiri dengan kembali pulang ke Sidoarjo, totalnya kurang lebih 100 km kami tempuh setiap hari. Fiuuuh…. Belum lagi kalau waktunya belanja, mulai dari semen, pasir, kayu, dll di toko bangunan. Kemudian di swalayan alat bangunan membeli keramik, cat, kitchen sink, sampai ke urusan kran air dan saklar lampu. Kalau tinggal beli aja sih cepet. Milihnya itu lhoooo… capeek. Pernah suatu kali kami berada di dalam swalayan alat bangunan selama 5 jam, wow!! Padahal kami sudah mengkonsep sejak dari rumah, apa yang mau dibeli, keramiknya warna apa, dipakai untuk model bagaimana, dan assessorisnya yang seperti apa, tapi tetep aja, puyeng!! Belum lagi hunting ini-itu dan harus berpindah-pindah swalayan alat bangunan (Depo Bangunan, Mitra10, AJBS, sampe ke Baliwerti) untuk mencari item-item yang nyaman di hati dan pas di kantong. Hehehe…

Tapi Allah selalu menjadi Yang Maha Baik selalu memberi kemudahan kepada kami dengan mengirimkan orang-orang baik yangmembantu kami. Tukang bangunan yang kerjanya bagus dan tidak rewel, tetangga sebelah rumah yang meminjamkan rumah kosongnya untuk ditempati para tukang bangunan saat malam, juga rezeki-rezeki tak terduga saat tabungan telah terkuras habis sementara bangunan rumah masih perlu finishing touch.
 
Dan akhirnya, setelah berlelah-lelah ria selama 2 bulan (plus libur-liburnya lho, terutama karena banjir di kecamatan sebelah), tarrraaaaa…. Ini dia Our Paradise!!
  
Alhamdulillahi Robbil Alamin..

Ya Allah, jadikan rumah ini sebagai penyejuk hati kami, pemupuk cinta kami kepada-Mu, dan senantiasa mendamaikan kami untuk beribadah kepada-Mu. Jadikan rumah ini memberikan manfaat bukan hanya bagi kami tapi juga untuk siapapun yang selalu ingin bertashbih menyebut nama-Mu, serta menjadi madrasah yang terbaik untuk putra-putri kami. Amin ya Robbal ‘alamin…

Bismillahirrahmanirrahiim….
Niat ingsun manggoni rumah anyar, lillahi ta’ala…

3 Oktober 2011

ORDE KORUP DI NEGERI KU

Pada dasarnya aku adalah termasuk orang yang sangat haus akan informasi, sehari tanpa meng-update berita baik menyaksikan berita di TV, membaca Koran, atau menyimak berita melalui media online tentu saja akan membuatku serasa ling-lung. Tak hanya menikmati berita yang tersaji namun bahkan seringkali pada berita-berita khusus yang dimuat dalam sebuah kemasan ‘Breaking News” aku sering ditemani oleh selembar kertas dan sebuah pulpen untuk mencatat nama-nama penting, waktu-waktu kronologis, dan alur sebuah kejadian atau kasus yang sedang dibahas.

Kadang aku merasa aneh sendiri manakala dalam suasana berkumpul dengan teman-teman kuliah yang sedang mengerjakan tugas aku membahas issue-issue penting yang sedang hangat diperbincangkan di TV berita dengan menyebutkan nama-nama yang terkait. Mengapa aneh? Karena kebanyakan dari mereka ‘tidak nyambung’ dengan apa yang kubahas. Hmm… tentunya bukan salah mereka karena memang aku saja yang aneh, karena lebih tertarik dengan berita politik, terorisme, krisis pendidikan, sosial kemasyarakatan, dll dari pada membaca buku kuliah berbahasa inggris yang tebalnya ratusan bahkan ribuan halaman. Dan hasilnya, seperti dapat dibaca dalam note-note facebookku sebelumnya yang lebih banyak membahas dan menyoroti issue-issue politik, sosial kemasyarakatan, terorisme, dll.

Namun, semakin banyak informasi aku dalami, semakin membuatku gerah sekaligus geram. Betapa tidak? Kian hari kita terus saja dihadapkan kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi dimana-mana, semakin hari semakin tampak bagaimana potret manusia Indonesia yang serakah, tidak hanya terjadi dan dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, tetapi rakyat kecil pun ketika mendapatkan jalan menuju surga dunia dengan cara tidak halal, maka jalan itu pun ditempuhnya.

Ggghhhrrrrr…!! Geraaammm…!!! Gemas.. aku sungguh gemas!! Entah memang seperti itu kejadiannya atau eksploitasi media saja yang berlebihan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa dua televisi berita nasional kita memang dimiliki oleh dua orang tokoh yang memiliki kepentingan khusus atas aib pemerintah, walhasil bagi media bad news is a good news. Ah entahlah, yang jelas semua sangat kusut. Ketidak adilan ini telah mendarah daging, terlebih kala mengingat bahwa pihak-pihak tersebut tidak lain adalah mantan mahasiswa yang dahulu di masanya duduk di bangku kuliah mereka berada di barisan depan perjuangan meraih reformasi dan menurunkan Orde Baru yang mereka anggap Orde Korup.

Saatnya yang muda memimpin, begitu slogan digembar-gemborkan, cukup lama diperjuangkan, cukup banyak menarik simpati masyarakat, hingga akhirnya mimpi mereka terwujud. Lantas, terwujudnya impian mereka apakah berarti impian masyarakat Indonesia juga terwujud?? Tidak sama sekali alias Nol Besar!!

Ini dia variasi pelaku korup di negeri ini yang mulai makin berwarna, mulai dari yang tua sampai yang muda bahkan anak-anak yang mulai diajari curang secara massal dalam Ujian Nasional, mulai dari pejabat tinggi dan pemerintahan hingga pejabat kelurahan dan RT, mulai dari konglomerat direksi sebuah Bank hingga rakyat jelata berprofesi TKW yang juga tak mau menyia-nyiakan ‘pundi-pundi sumbangan rakyat’ yang tak sepantasnya dihambur-hamburkan. Namun, meski berbeda-beda golongan, motif dan caranya, ada satu hal yang sama dari mereka semua, yaitu Tak Punya Malu.

Dari 230 juta rakyat Indonesia yang adil dan beradap ini, apakah semuanya sudah terjangkiti virus tak malu untuk korupsi??? Dari lubuk hati yang paling dalam, tentu kayakinan akan adanya segelintir manusia Indonesia yang berhati nurani dan tak doyan korupsi. Tapi bisa dibayangkan keberadaan yang segelintir itu ketika dihadapkan dengan lingkungan yang mana korupsi sudah mendarah daging, tentu saja akan banyak ditemui penjegalan, timpuk dari belakang, hingga jebakan demi jebakan untuk mematikan langkah hingga Skak Mat!!

Sebut saja Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar yang harus rela meregang usia dibalik jeruji penjara karena kejujuran dan kelugasannya bersuara dan bertindak, atau Ketua MK Mahfud MD yang setiap pagi sarapan dengan ancaman terror pembunuhan atas dirinya, belum lagi Walikota Solo Joko Widodo yang menebalkan telinga meski terus di goblok-goblokkan oleh atasannya karena menolak proyek yang sarat potensi mendulang pundi-pundi tidak halal, dan yang sangat menyedihkan melihat Aam, siswa SD yang diusir dari desanya karena menyuarakan kejujuran di sekolahnya.

Fiuuh….susah memang jadi orang jujur di negara dalam orde korup. That's why, Aku sekarang jadi agak males nonton berita dan segera kuganti begitu melewati channel berita dan membaca title tentang 'itu-itu' lagi dan menghadirkan narasumber 'mereka-mereka' lagi.