27 Oktober 2010

PEKERTI SANG KUNCEN SETIA


Lama sudah ku tak menulis, dan kini aku benar-benar ingin melakukannya, menggerakkan jemari di atas keyboard putih ini, mengayunkan pikiran merasakan dorongan besar yang ingin segera tertumpahkan. Aku sedih, hatiku pilu…


Berita wafatnya Sang Juru Kunci Gunung Merapi tempo hari cukup mengejutkan, Mbah Marijan yang namanya mulai tenar beberapa tahun silam saat merapi menggoda kita dengan bersinnya, saat dimana situasi dinyatakan waspada oleh Badan Vulkanologi, saat semua warga sekitar gunung teraktif di dunia itu diinstruksikan untuk segera meninggalkan kediaman menuju pengungsian. Tapi dia, dia si kuncen renta itu tak beranjak sedikitpun, bahkan hingga Rajanya sendiri yang memerintahkan sang abdi untuk segera turun gunung, tapi tetap saja ia bergeming, dengan satu alasan, iya hanya satu alasan “Merapi adalah amanah untukku


Srrr… berdesir darah ini mendengar satu kecap kalimat itu, bergejolak darah ini merasakan betapa kesetiaan seorang abdi terhadap apa yang telah diamanahkan kepadanya, kalimat itu tentu bukan buah dari kesadaran pribadi yang terbentuk secara instan, kalimat itu tentu bukan bentuk dari tanggung jawab yang telah dibayar dengan lembaran rupiah yang mahal. Kalimat itu adalah sebuah kalimat yang terlontar dari hati, hati seorang abdi yang begitu taat kepada padukanya, abdi yang begitu menjunjung amanah yang diembankan kepadanya, abdi yang meski hanya digaji dengan belasan ribu rupiah per bulannya, namun abdi ini adalah abdi negeri yang patut menjadi suri tauladan bagi abdi-abdi negara tercinta ini.


Siapapun layak berkaca terhadap sikap Kuncen renta yang kini telah menghadap haribaan-nya itu, baik kita, terlebih para wakil rakyat dan pemegang amanah rakyat di gedung terhormat sana. Wakil rakyat yang bisa duduk di kursi empuknya dari hasil urunan suara rakyat, pemegang amanah rakyat yang harusnya bertugas memikirkan dan memperbaiki negeri untuk kepentingan rakyat, pemimpin rakyat yang harusnya menomorsatukan rakyat yang meski sedari awal menjadikan rakyat sebagai bulan-bulanannya.


Tentu bukan karena besarnya gaji dari Raja yang membuat Mbah Marijan begitu setia dan teguh menjaga amanahnya, tentu bukan karena popularitas menjadi bintang iklan yang membuat Mbah Marijan rela bertukar nyawa, keteguhannya adalah karena ia tidak ingin masuk ke dalam golongan orang yang ‘idza ’tumina khoon’. Ya, ia tidak ingin menjadi orang yang mencederai kepercayaan (amanah).


Lantas, bagaimana dengan gaji besar, popularitas meroket, dan citra (body lotion?? Ups! Tentu bukan, tapi political & individual image) yang sudah dan terus diusahakan tetap berkibar itu? Tidakkah sudah sangat cukup bagi anda-anda sekalian untuk menyadari bahwa itu semua bukanlah cuma-cuma? Demi Tuhan, itu semua harus dibayar, Paduka! Tidak perlu kontak kok, kami beri waktu lima tahun untuk dilunasi…


Oooh, betapa pilu hati ini, mendapati bahwa para pemegang amanah yang telah kami beri kredit berupa gaji besar, popularitas tinggi dan citra yang baik itu justru sibuk berpesta di kursi empuknya, berantem di gedung, mengemplang pajak, membungkus erat para tikus pengerat, kolusi, nepotisme, mengkrikiti (bahasa jawa tuh, buat yang kagak ngarti cari sendiri artinya) uang rakyat, mendesain gedung baru nan mahal, plesir ke negeri antah berantah (bahkan kabar terbaru ada yang karena takut kena demo, eh plesir ke Yunani berangkat jam 2 malam lho, Astaghfirullah…). Lantas, ada juga yang kerjaannya mewek dan sok terharu plus sok terdzalimi, belum lagi yang hampir tiap hari sibuk dengan citranya yang sedikitpun tak boleh menurun (owalah kenapa gak dibeli aja tuh pabrik citra body lotion, hmm…).


Tidakkah kalian sadar bahwa kalian adalah pemimpin, pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawabannya? Oh Tuhan, bagaimanakah cara menegur pemimpin kami yang tak juga tersentil dengan berbagai sindiran dan kritikan itu?


Allahummaqsimlanâ min khasyatika mâ tahûlu bihî baynanâ wa bayna ma’shiyatik, wa min thâ’atika mâ tuballighunâ bihî jannatak, wa minal yaqîn mâ tuhawwinu bihî ‘alaynâ mashâi’bad dunyâ, wa matti’nâ bi a’smâ’inâ wa a’bshârinâ wa quwwatinâ mâ a’hyaytanâ, waj’al dzâlika khayrân lanâ, waj’al tsa’ranâ ‘alâ man zhalamanâ, wanshurnâ ‘alâ man ‘âdânâ, wa lâ taj’al mushîbatanâ fî dîninâ, wa lâ taj’alid dunyâ ‘akbara hamminâ wa lâ mablagha ‘ilminâ, wa lâ tusallith ‘alaynâ man lâ yakhâfuka wa lâ yarhamunâ. Wa shallalahu ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.

(Ya Allah, anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dan kedurhakaan kepada-Mu, dan anugerahi kami ketaatan yang mengantar kami ke surga-Mu serta limpahkan kepada kami keyakinan yang dapat meringankan petaka duniawi yang kami pikul. Anugerahilah kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama hidup kami. Jadikan semua itu kebaikan buat kami, dan jadikan pembalasan-Mu terhadap orang-orang yang menganiaya kami. Ya Allah, menangkan kami menghadapi siapa yang memusuhi kami dan jangan Engkau jatuhkan petaka ukhrawi menimpa kami, jangan juga ya Allah, Engkau jadikan dunia perhatian terbesar kami serta batas pengetahuan kami. Ya Allah, jangan Engkau jadikan penguasa kami, orang-orang yang tidak takut kepada-Mu lagi tidak mengasihi kami.) Wa shallalâhu ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.

28 Februari 2010

Jusuf Kalla - Tsunami Aceh

Cerita ini udah hadir lewat facebook dan kompasiana meskipun ditulis oleh Tempo 4 tahun yg lalu. Berikut ceritanya:

Tiga Hari Penuh Badai

Inilah kisah di pusat kekuasaan selama tiga hari pertama setelah tsunami. Mengenang setahun tragedi itu, beberapa sumber termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Komunikasi dan Informasi Sofjan Djalil menuturkan kenang-kenangan mereka kepada Tempo.
****

Baru duduk di jok mobilnya, telepon seluler Jusuf Kalla berdering-dering. Staf pribadinya melaporkan: “Pak, di Aceh ada tsunami. Dahsyat sekali.” Pagi itu, 26 Desember 2004, Kalla hendak menghadiri halal bihalal warga Aceh di Senayan, Jakarta. Kalla lalu mengirim pesan pendek ke telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pagi itu berada nun jauh di Nabire, Papua. Presiden menemui korban gempa yang melumat Nabire sehari sebelumnya.

Presiden membalas: “Saya sudah dengar. Tolong koordinasikan.” Kalla lalu menelepon Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Provinsi Aceh. Gubernur Abdullah Puteh saat itu telah ditahan di penjara Salemba karena dugaan kasus korupsi.

Kalla juga mengontak Kapten Didit Soerjadi, pilot pesawat pribadinya. Didit sedang beristirahat. “Kau segera mandi dan berangkat ke Aceh,” perintah Kalla. Semuanya serba buru-buru. Perintah terus mengalir saat Didit mandi. “Lucu juga, saya mandi sambil terima telepon Pak Wapres,” kenang sang pilot. Wapres menggegas semua stafnya menelepon semua pejabat di Aceh. Sial, tak satu pun menyahut. Kalla mulai cemas.

Di Aceh, dunia berhenti pagi itu. Bumi berguncang dengan kekuatan 8,6 pada skala Richter, air laut tumpah ke daratan. Beberapa keluarga sempat mengabarkan soal air bah kepada kerabat di Jakarta. Cuma sebentar. Lalu telepon putus total.

Halal bihalal warga Aceh di Senayan dibuka pada pukul sembilan lebih, berlangsung dalam suasana tegang sekali. Berita tsunami sudah menyebar. Banyak yang sibuk menelepon. Beberapa orang berlinang air mata. Ada yang histeris, gusar kian-kemari. Kalla berpidato sekenanya. Hampir tak ada yang mendengar. “Orang-orang ingin acara itu cepat kelar,” tutur Kalla kepada Tempo. Turun panggung, Kalla menggelar rapat mendadak di situ.

Dia memerintahkan Sofjan Djalil memimpin rombongan pertama ke Aceh. “Pakai pesawat saya saja,” kata Wapres. Anggota rombongan 30 orang, antara lain Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Azhari, Azwar Abubakar, dan beberapa tetua Aceh. Kalla membekali Sofyan uang Rp 200 juta dan sebuah telepon satelit. “Begitu kau tiba di Aceh, langsung telepon saya,” perintahnya. Mereka menjadi rombongan pertama pemerintah yang terbang ke Aceh di hari pertama tsunami.

Pesawat berputar dua kali di langit Banda Aceh. “Dari udara Aceh terlihat hancur total,” tutur Kapten Didit. Menara bandara retak. Tak satu pun petugas di menara. Untung, pesawat mulus mendarat, sekitar pukul enam sore.

Anggota rombongan membeli beras dan mi instan di beberapa toko dekat bandara, lalu beranjak ke pendapa kantor gubernur sekitar pukul tujuh malam. Jalanan sunyi senyap. Gelap gulita. Satu-satunya penerangan cuma lampu mobil. Sungguh mengerikan. Mayat bergelimpangan di jalan, di kolong rumah, tersangkut di dahan pohon. Beberapa ekor anjing berlari ke sana kemari. Anggota rombongan mulai menangis sesenggukan.

Malam itu ratusan orang menumpuk di pendapa kantor gubernur. Banyak yang luka parah. Puluhan mayat dijejerkan di latar depan pendapa. Aceh lumpuh total. Koordinasi tak jalan karena aparat pemerintah pusing mencari sanak keluarga. Kepala Polres Banda Aceh hanyut ditelan tsunami.

Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Aceh, bisa memimpin. Namun, dia sedang galau. Rumahnya di Blang Padang hancur. Ia tak tahu nasib anak-anaknya. Wakil Gubernur ini pulang ke rumahnya ditemani Sofjan Djalil, Jusuf Azhari dikawal dua tentara. Mobil melaju dalam gelap, menghindari mayat-mayat yang direbahkan di kiri-kanan jalan. Mobil berhenti kira-kira 50 meter dari rumah Azwar sebab sampah menggunung menutup jalan.

Wakil Gubernur turun ditemani seorang tentara. Dipandu nyala senter, mereka mengendap-endap. Sofjan menunggu dengan cemas. Setengah jam berlalu, Azwar pulang. “Di rumah banyak mayat, tapi anak-anakku tak kelihatan,” katanya penuh kecemasan. Mereka lalu balik ke pendapa.

Berkali-kali Sofjan menelepon Jusuf Kalla di Jakarta. Tak bersahut. Di Jakarta, Wapres menggelar sidang kabinet darurat di rumah dinas Jalan Diponegoro pada pukul 21.30 WIB. Sembilan menteri dan Panglima TNI hadir. Sembari rapat, Kalla berkali-kali pula mengontak Sofjan. Tak bersambung juga. “Sofjan itu bawa telepon satelit kok tidak sambung-sambung,” kata Kalla.

Di Aceh, Sofjan memutuskan mengirim kabar lewat Orari Angkatan Udara di Aceh. Orari Jakarta meneruskan pesan itu ke telepon seluler Jusuf Kalla. Ini laporan pertama Sofjan dari wilayah bencana: ”Pak, korban sekitar 5.000 hingga 6.000.” “Astagfirullah, astagfirullah,” kata Kalla berkali-kali sembari mengusap wajah. Sejumlah menteri tertunduk. Hening menyapu ruang rapat.

Kalla melanjutkan pesan ke Presiden Yudhoyono yang malam itu sudah tiba di Jayapura. Presiden menyampaikan belasungkawa kepada korban bencana. Besoknya, Presiden terbang menuju Aceh.

Pukul sepuluh malam, telepon satelit Sofjan sukses menembus Jakarta. “Eh, ini Sofjan,” ujar Kalla kegirangan. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tak telepon-telepon?” tanya Kalla dengan suara keras. “Saya stres, Pak. Di sini gelap sekali,” sahut Sofjan dari seberang. “Besok aku susul ke sana,” ujar Kalla. Percakapan ditutup.

Malam itu Kalla mematangkan persiapan ke Aceh. “Saya minta Anda menyediakan dana sepuluh miliar uang kontan,” perintah Kalla kepada Menteri Keuangan Jusuf Anwar. Jusuf tertegun. “Pak, kalau segitu tak ada,” jawabnya. “Saya tidak mau tahu. Itu urusanmu,” kata Kalla. Rapat bubar larut malam.

Di larut malam itu, pendapa kantor gubernur di Banda Aceh masih gaduh. Warga yang luka parah dirawat seadanya. Koordinasi sulit karena aparat sibuk mencari keluarga masing-masing. Kepala Polda Aceh Bahrumsyah datang ke pendapa dengan terengah-engah. Wajahnya letih. Si Kapolda cuma mengenakan pakaian dinas tanpa alas kaki alias nyeker. Orang hilir-mudik di pendapa membikin Sofjan bingung menjaga uang Rp 200 juta yang dia bawa dari Jakarta. Ia meminta seorang anggota DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera menjaga uang itu. “Orangnya berjenggot. Uang pasti aman,” ujar Sofjan.

Sang Menteri lalu merebahkan badan di atas karpet. Belum lagi mata terpejam, terdengar pekikan, “Gempa! Gempa!” Orang-orang berlari. Sofjan ikut kabur. Setelah bergoyang beberapa menit, bumi kembali tenang. Warga kembali ke pendapa. Tak berapa lama, teriakan gempa terdengar lagi. Semua berhamburan, termasuk Pak Menteri. Malam itu gempa datang berkali-kali. Lama-lama, Sofjan putus urat takutnya. Saat orang-orang kabur, ia terlelap. “Sudah jam dua pagi, masak lari-lari terus. Saya lelah sekali,” kenangnya. Besoknya, orang ramai menggunjingkan kehebatan nyali Pak Menteri.

*****

Hari kedua, 27 Desember. Entah bagaimana caranya, Menteri Keuangan berhasil menyediakan uang kontan pagi itu. Jumlah Rp 6 miliar. Menjelang siang, Kalla terbang ke Aceh membawa serta uang satu peti. Petang hari, Presiden Yudhoyono mendarat di Lhokseumawe. Wajahnya sedih. “Tadi pagi saya meninjau Nabire. Sore ini saya di Lhokseumawe menemui saudara-saudara yang tertimpa musibah lebih besar lagi,” katanya.

Setibanya di Banda Aceh, Kalla memerintahkan stafnya memborong beras, mi instan, dan aneka makanan lain. Karena berasnya kurang, Kalla bertanya, “Eh, berasnya sedikit sekali. Mana beras dari Dolog?” Seseorang menjawab, pintu Dolog digembok. Si pemegang kunci tak diketahui rimbanya. Wakil Presiden menyergah dalam nada tinggi “Buka! Kalau tak bisa, tembak gerendelnya. Apa perlu tanda tangan Wapres untuk buka pintu Dolog?” Suasana tegang. Beberapa polisi bergegas membidik gembok. Beras pun mengalir.

Rombongan Kalla berlalu ke pendapa kantor gubernur. Di Lambaro, mereka menyaksikan ratusan mayat berjejer di depan toko. “Masya Allah,” ucap Kalla. Badannya lemas. Di pendapa ia menggelar rapat, lalu keliling kota bersama Mar’ie Muhammad, Ketua Palang Merah Indonesia, yang datang sehari sebelumnya. Kota itu lautan mayat.

Mayat-mayat harus segera dikubur karena bau busuk menikam hidung. Untung, ada seorang ustad. Kalla minta ustad itu mendoakan tumpukan jenazah sebelum dikuburkan. Tapi siapa yang menjamin sahnya pemakaman? “Saya jamin,” kata Kalla. Ia mencorat-coret di atas kertas, lalu membubuhkan parafnya. “Tolong keluarkan ayat yang pantas-pantas saja,” pintanya kepada ustad.

Sore hari Kalla terbang dengan helikopter ke Lhok Nga untuk menjatuhkan mi instan dari udara. Helikopter itu tak punya sabuk pengaman. Setiap pesawat memutar, tubuh Kalla serong ke kiri, serong ke kanan. Rombongan Kalla terbang ke Medan pukul tujuh malam. Sofjan Djalil yang sudah dua hari di Banda Aceh minta ikut pulang. “Baru dua hari sudah minta pulang. Kau tetap di sini,” jawab Kalla. Malam itu Sofjan pusing tujuh keliling menjaga uang satu peti yang dibawa Kalla. Takut uang itu dicolong, Menteri Sofjan dan kawan-kawannya tidur mengitari peti itu.

*****

Hari ketiga, 28 Desember. Presiden Yuhdoyono terbang dari Lhokseumawe menuju Banda Aceh. Kalla yang sudah berada di Medan mendapat kabar Meulaboh rata tanah. Ia memerintahkan stafnya mencari pesawat ke Meulaboh. Dapat pesawat Angkatan Udara. Dari udara, Meulaboh tampak seperti tanah gusuran. “Astagfirullah,” ucap Kalla berkali-kali.

Kalla meminta pilot terbang lebih rendah. Pilot mengangguk. Kalla minta lebih rendah lagi. Kali ini pilot bilang, “Tak bisa, Pak. Bahaya.” “Kau ini orang mana?” tanya Kalla. “Saya orang Makassar, Pak,” jawab si pilot. “Ah, orang Makassar kok penakut,” sergah Kalla. Pilot mengalah, pesawat melayang cuma beberapa meter di atas pucuk kelapa. Untung saja arahnya ke laut.

Setelah berkali-kali memutar di atas Meulaboh, pesawat kembali ke Medan. Kalla langsung rapat dengan Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin—kini sudah almarhum. Dia memerintahkan Gubernur mengirim makanan ke Meulaboh. Keduanya sempat bersoal-jawab.

+ “Bagaimana caranya, Pak?” tanya Gubernur.
- “Lewat udara, buang dari pesawat,” jawab Kalla.
+ “Kalau dibuang nanti pecah, Pak.”
- “Tidak apa-apa, toh sampai di perut pecah juga.”
+ “Ya, tapi nanti basah Pak.”
- “Bungkus saja pakai plastik.”
+ “Pak, nanti jatuh ke GAM,” Gubernur berusaha menjelaskan.
- “ Tidak apa-apa. GAM juga manusia. Perlu makan,” nada Kalla mulai meninggi.
Beberapa orang membisiki Gubernur supaya jangan membantah.
+ “Jadi, bagaimana, bisa atau tidak?” tanya Kalla.
- “Siap, Pak,” jawab Gubernur.

Pesawat pemasok makanan melayang ke Meulaboh. Presiden dan Wakil Presiden kembali ke Jakarta pada hari ketiga.

Lalu, bantuan kemanusiaan mulai mengalir dari segenap penjuru dunia….

15 Februari 2010

Serba Serbi Mahasiswi Jalanan

Nggak nyangka, sudah satu semester aku sang anak jalanan ini kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Rumahku yang tepat berada di sebelah selatan kota Surabaya membuatku memutuskan untuk tidak tinggal di kost melainkan menjangkaunya dari rumah. Setiap hari bolak-balik Sidoarjo-Surabaya dengan angkutan umum tak dipungkiri menimbulkan kelelahan juga, tapi dalam setiap kelelahan yang kurasakan akibat perjalanan 90 menit pulang dan pergi seringkali terbayar saat bertemu dengan segala serba-serbi kehidupan jalanan Surabaya.


Lucu, jengkel, unik, geram, menyentuh, geregetan, sedih, kesal, dan segala macam emosi pernah kurasakan. Namanya juga serba-serbi, tentunya semua serba ada. Perjalananku dimulai dari rumahku menuju jalan raya yang biasa kutempuh dengan menggunakan sepeda angin, sebenarnya jaraknya tidak jauh, + 250 meter saja, tapi karena aku sering pulang dari kampus hingga larut malam, jadi berasa agak serem aja kalau harus berjalan kaki sendirian malam-malam. Biasanya sepeda kutitipkan di sebuah penitipan sepeda yang letaknya tidak jauh dari jalan raya tempat aku mulai naik dan nantinya turun dari angkot.


Perjalanan Sidoarjo sampai dengan Terminal Joyoboyo (Surabaya) adalah perjalanan terjauhku sebelum nantinya oper angkutan berikutnya. Di angkot Sidoarjo-Surabaya ini banyak sekali hal-hal yang kutemui, dari angkot ini pula aku bertemu dengan berbagai macam karakter manusia dengan segala problematikanya.


Suatu ketika, aku bertemu dengan penumpang yang mengeluh karena baru saja kecopetan HP di bis Mojokerto-Surabaya yang baru ditumpanginya, dari perbincangan kami tersebut kemudian sang sopir pun membagi berbagai tips menghadapi copet yang ia akui telah ia kenal semua oknumnya terlebih yang beroperasi di wilayah trayek angkutannya.


Saking seringnya bertemu dengan orang-orang yang berbeda tiap harinya, aku jadi sedikit bisa memetakan karakter seseorang berdasarkan asal daerahnya bahkan sebelum mereka mengeluarkan suara, seperti orang Surabaya Asli yang selalu bikin aku beristighfar mendengar umpatan-umpatannya, orang Lamongan yang sering membuatku geli sendiri melihat tingkahnya yang ‘nggak banget’, orang Madura yang membuatku geleng-geleng kepala, orang dari Indonesia Timur yang selalu menarik perhatianku dengan logat bicaranya, dan beberapa orang Jawa Tengah yang tentu saja bahasanya membuatku tersenyum mengingat teman-teman lamaku dari Jawa Tengah. (maaf ya, nggak bermaksud Rasis)


Di angkot ini pula aku bertemu dengan seorang sopir yang akhirnya kunobatkan sebagai “The best Driver”, tau kenapa? Bukan apa-apa, beliau hanya seorang sopir biasa, tapi tingkah lakunya sangat menegesankanku, tenang, ramah, sabar, perhatian, pokoknya the best lah. Setiap ada yang mau naik, dari belakang kemudi dia selalu meneriakkan kalimat untuk mempersilahkan penumpangnya naik, tidak lupa berkata “hati-hati mbak/mas…” begitu pula saat penumpang akan turun, ia juga mengingatkan kami untuk tidak sampai lupa dengan barang bawaan kami, saat ada yang membayar ongkos setiap penumpang pasti diberi ungkapan terima kasih . Dia juga tidak mengesalkan penumpang dengan berlama-lama nge’time’, kecuali benar-benar ada penumpang yang akan naik, itu pun pasti dia mengucapkan maaf kepada para penumpang karena angkot harus berhenti sebentar menunggu sang penumpang baru yang sedang berjalan.


Dari angkot ini pula, aku mendapat banyak info penting tentang kehidupan, tentang bagaimana kehidupan para sopir angkot yang semakin hari semakin sulit, sepinya penumpang, naiknya harga spare part mobil, tingginya setoran yang harus dibayarkan setiap harinya, bensin yang harus dikeluarkan setiap perjalanan pulang pergi, dan lain sebagainya. Di suatu hari aku juga menikmati perbincangan para pria-pria yang berjuang demi keluarganya, bekerja ini itu, dengan hasil sebesar segini segitu, hingga strategi para sopir truk dalam menghias truknya dengan berbagai tulisan yang ternyata baru kuketahui bahwa hal itu memiliki makna tersendiri serta mengandung berbagai harapan. Seperti bedanya tulisan yang pesimis ataupun optimis serta bagaimana dampaknya. (Ah ada-ada saja), tapi jujur aku sangat menikmati segala pengalaman ini.


Sesampainya di terminal Joyoboyo, aku berganti angkutan P jurusan Joyoboyo-Kenjeran yang via Karangmenjangan, dan aku turun di kampus B Unair. Di terminal, ini yang paling bikin kesal, karena aku harus menunggu hingga angkot terisi penuh barulah diberangkatkan, dan tidak seperti di Jakarta yang sudah menjadi kebiasaan para sopir meneriakkan angka ” 46, 46...!!!” yang artinya bangku pendek diisi 4 orang dan bangku panjang 6 orang, karena di Surabaya meskipun tidak diteriakkan sesering di Jakarta, angkot diisi dengan formasi 47, belum lagi bangku tambahan yang menghadap belakang di samping pintu, itu musti terisi 2 orang! (omg... sampe lumutan deh pokoknya!). Tapi kehidupan selain harus dijalani, memang harus dinikmati, begitulah akhirnya aku mulai berusaha berdamai dengan suasana terminal.


Di terminal ini, aku mulai mengenal wajah-wajah tetap yang ada di situ, yaitu calo angkot, pengemis (baik tua maupun anak-anak), serta pengamen dan PKL, hafal betul aku dengan mereka, karena memang mereka berada di situ setiap hari. Ada satu orang ibu pengemis yang dulu masih awal-awal mencuri perhatianku karena perilakunya yang menyuruh anaknya yang berusia kira-kira 9-10 tahun untuk ikut mengemis, miris sekaligus geram melihatnya. Tapi mau tidak mau aku harus melihat pemandangan ini setiap hari, hingga suatu hari aku pernah duduk bersebelahan dengan seorang penumpang wanita yang mengaku 9 tahun yang lalu juga kuliah di Unair, menurut ceritanya ia telah melihat sang ibu pengemis sejak dia rutin naik angkot ini saat mesih kuliah dulu, dan saat itu (menurut si Mbak tadi) ibu pengemis itu sambil menggendong anak yang masih bayi (What??? Jadi anak yang selama ini kulihat itu sudah ikut mengemis sejak bayi...??)


Ah entahlah, aku sedang tidak ingin berkomentar, terlebih sampai suatu ketika ternyata ibu pengemis ini pula yang menjadi penolong di angkot P ini. Ceritanya, saat itu terminal sedang sangat ramai hingga untuk menunggu angkot penuh pun tidak perlu menunggu lama, aku yang sudah duduk di dalam tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan si ibu yang memarahi seorang laki-laki yang terlihat hendak naik angkot yang kutumpangi, aku tak begitu jelas mengikuti kronologisnya, yang jelas beberapa menit kemudian kuketahui ternyata ibu pengemis itu memergoki seseorang yang hendak mencopet HP salah seorang penumpang di angkot ini. (Hhh... terima kasih Bu...)


Selanjutnya di angkot P, pengalaman juga tak kalah seru, mulai dari curhatan sang sopir akan nasib bangsa ini sejak dipimpin oleh presiden terpilih (wah, politis banget deh nih sopir!), lantas serombongan oma-oma yang selalu rutin tiap minggu mencarter angkot untuk pergi ke gereja, hingga obrolan para pemain topeng monyet, suka-duka mereka, tips-tips serta pantangan yang harus diikuti saat ada orang yang menyewa pertunjukannya, hingga berapa rupiah kocek yang mereka terima setiap harinya.


Karena Angkot ini adalah angkutan yang sama menuju Rumah Sakit Dr.Sutomo, maka di angkot ini pula aku belajar banyak akan ilmu ketegaran dari begitu banyak penumpang angkot yang sedang menjalani pengobatan dari penyakit-penyakit beratnya, seperti kanker, tumor dan jantung. Aku begitu terharu melihat kebesaran hati mereka yang tetap kuat bercerita mengenai sakit kankernya, perjalanan kemoterapinya, dengan segala kesulitan biaya yang mereka hadapi, serta plus minus pelayanan rumah sakit. (untuk mereka, terima kasih atas pelajaran hidupnya...)


Sampai pada suatu hari, di angkot P ini pula, aku yang seperti biasa pulang kuliah bersama dengan seorang teman sekelas yang sudah berkeluarga (Bu Yessica), mengendarai angkot ini dari kampus hanya berdua, beberapa saat kemudian di pertengahan jalan ada 2 orang pria yang naik dan kemudian berulah. Dan tahukah kalian apa yang hendak mereka perbuat kepada kami?? Kami hendak dihipnotis!! What?? Yups, Hipnotis!! Percaya nggak? Harus percaya dong...! Yups, sebagaimana diajarkan di kuliah kami, step-step hipnotis pun mereka jalankan secara berurutan, mulai menggiring pembicaraan dengan berbagai topik, hingga mencoba menarik perhatianku agar aku mau menghadapkan mukaku kepada mereka. Huakakakak... pengen ngakak pokoknya, secara (bacanya dengan logat gaul ya..!), kita kan anak Psikologi, udah magister pula, masa iya nggak tau gelagat orang?! (ups! Nggak boleh sesumbar ding!), yah pokoknya pada akhirnya mereka pun mengalah dan turun di jalan dengan kemudian disusul gelak tawa kami berdua yang telah berhasil membuat mereka putus asa karena gagal mendapat mangsa.


Fiuuh... banyak banget deh pengalamannya, dan tentunya berbeda-beda rasanya. Semester depan kayaknya aku masih akan setia dengan angkot, karena ternyata kami baru akan PKL semester 3 nanti. Masih kuat nggak ya? Harus kuat lah! Demi menuntut ilmu (huweeek...! sok banget ya gue!), jadi teringat tanggapan salah seorang calon tante baruku di Wonocolo saat bertandang ke rumah. ” Kenapa nggak minta antar jemput saja?” (gubrak!! Aduuuh, nggak banget deh..)

20 Januari 2010

Ayahku (juga) Ayah Juara Satu Seluruh Dunia


Rabu, 30 Desember 2009, tak kusangka di hari itu menjadi hari di mana aku tergerak kembali untuk menulis setelah beberapa lamanya aku tak mampu melakukannya. Hari itu aku sengaja pergi ke kampus untuk mengumpulkan tugas kuliahku, kemudian melanjutkannya dengan menonton film Sang Pemimpi (sekuel film Laskar Pelangi), film yang didedikasikan setinggi-tingginya oleh si pemilik cerita (Andrea Hirata) kepada Ayahnya, Ayah juara satu seluruh dunia.

Dari film itu, hanya ada satu tanggapan yang ingin kukeluarkan dari mulutku, ”Ayahku juga Ayah juara satu seluruh dunia”. Meski aku tak sempat lama mengenalnya, tetaplah beliau Ayah paling juara. Meski Ayahku tak pernah mengambilkan rapor sekolah untukku, tetaplah beliau yang paling juara. Meski Ayahku tak pernah mengantarkan kepergianku ke perantauan untuk menuntut ilmu, tetaplah beliau Ayah paling juara. Iya, juara satu seluruh dunia.

Aku masih belum genap berusia 8 tahun saat aku menyaksikan kesibukan Ibu tidak seperti biasa. Ibu yang biasanya setia menemaniku dan saudara-saudariku di rumah, menyiapkan keperluan sekolah, menemani mengerjakan PR sekolah, dan mengejar-ngejarku yang sering enggan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Tapi saat itu semua pekerjaan Ibu itu dipindah tangan oleh bulekku yang tidak lain adalah adik kandung Ibuku.

Setiap aku bangun pagi, tak kulihat lagi Ibuku hingga aku tertidur lagi di malam harinya. Ibu menghabiskan waktu menemani Ayah di Rumah Sakit selama berminggu-minggu. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ayahku, yang jelas aku masih ingat saat hari Minggu aku dan saudara-saudariku pernah diantar oleh Bulekku menemui Ayah, di sebuah kamar rumah sakit yang dihuni oleh tiga orang pasien yang salah satunya adalah Ayah.

Aku masih ingat, saat itu aku masuk ke dalam kamar itu dan segera berhambur memeluk Ayah yang sama sekali tak kulihat sedang sakit, karena selain tubuhnya yang tampak lebih kurus dari sebelumnya aku tak melihat tanda-tanda lain layaknya orang yang sedang sakit selain senyumnya yang sangat kurindukan. Ia membentangkan kedua tangannya menantiku yang sedang berlari kearah pelukannya.

Diciumnya kepalaku sangat dalam, aku tak tau apa yang sedang dirasakannya. Yang jelas aku bahagia karena bisa memeluk Ayahku meski sempat pula aku heran mengapa aku yang sedang diliputi bahagia saat itu justru kulihat Bulekku menangis sejadi-jadinya menyaksikan apa yang kami lakukan.

Setelah beberapa saat aku dalam pelukan Ayah di atas tempat tidurnya, Ibu menghampiri kami kemudian menggendong dan membawaku ke dalam pelukannya. Dalam pelukan Ibu, aku melihat saudara-saudariku secara bergantian dipeluk Ayah dan lagi-lagi Bulek menangis menyaksikannya.

Dalam kesempatan itu, aku sempat bertanya kepada Ayah kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah tidur di rumah lagi? “Kan adek kangen, Yah…” aku merengek kepada Ayah dan Ibuku di sana.
Aku masih ingat betul Ayah menjawab pertanyaanku “Iya, bentar lagi Ayah dan Ibu pulang kok”. Aku bahagia sekali mendengarnya, apalagi kusaksikan Ayah tersenyum kepadaku.

Beberapa saat berselang, saat aku manikmati jeruk yang disuapkan oleh Ayah, kami melihat salah seorang pasien di kamar itu sedang diperiksa oleh seorang dokter wanita berjilbab. Dari jauh aku memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh dokter anggun itu kepada pasiennya. Tampaknya Ayah senang melihatku memberi perhatian atas apa yang dilakukan oleh dokter muslimah itu.

Adek, mau nggak jadi dokter?” Tanya Ayah membuyarkan konsentrasiku.
Mau, adek mau, Ayah!” jawabku bersemangat.
Iya, ntar kalau adek udah gede, adek jadi dokter ya! Kayak Bu Dokter itu, pinter, baik, dan pakai jilbab
Iya, Ayah. adek mau ntar jadi dokter kayak Bu Dokter itu, cantik, trus bisa nolongin orang, iya kan, Yah?
Iya, Sayang…

Aku merasa sangat tenteram mendengar ucapan Ayah. Ucapan Ayah yang akhirnya menjadi kalimat terakhir yang mampu kuingat dari Ayah yang sangat kucintai itu. Janji Ayah untuk segera kembali pulang ke rumah dipenuhinya, tapi tidak untuk menemani tidurku lagi, karena beberapa hari berselang dari hari itu, Ayah kembali pulang ke rumah diantar mobil jenazah.

Semua orang bersedih, menangis terlebih saat melihatku yang saat itu masih sangat kecil untuk menjalani hidup sebagai anak yatim. Saat itu memang aku tidak menangis karena aku belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Tapi, saat aku sudah beranjak besar dan dewasa, barulah kurasakan rindu yang amat mendalam kepada Ayah yang tak sempat dekat kukenal itu. Ayah…

Januari, 2010
Tahun ini, adalah tahun ke-17 kami hidup tanpa ayah, ayah yang wajahnya hanya bisa kulihat dari lukisan besar yang dipajang di kamar Kakak sulungku, ayah yang kehadirannya selalu kurasakan terlebih saat menyambangi rumah abadinya.

Ayah... tahun ini usiaku sudah 25, ayah ’di sana’ pasti ngikutin kan semua perkembanganku? Ayah, di usiaku yang akan bertambah bulan depan, aku ingin cerita banyak hal sama ayah, tentang kuliahku, tentang teman-temanku, tentang kekasihku, dan semuanya. Ayah pasti seneng deh!

Ayah... Tahun ini, kita ulang tahunnya deketan lho! Beda cuman 6 hari, tapi aku janji deh ntar aku khataman sendirian 30 juz, khusus buat kita berdua. Setuju?!

I Love you, Dad!

(maaf, nggak bisa nulis lebih banyak, udah nggak kuat nahan air mata)