Usai bersuka ria melihat hasil testpack yang menunjukkan 2
strip, aku dan si mas mulai mendiskusikan ke dokter siapa dan dimana kami akan
memeriksakan janin kami hingga 9 bulan ke depan. Ada beberapa pilihan dokter
kandungan yang direkomendasikan, baik yang praktek pribadi atau di Rumah Sakit.
Namun, dengan segala pertimbangan, akhirnya si mas memutuskan untuk tetap ke
dokter Maksum, dengan pertimbangan karena beliau yang menanganiku sedari awal,
meskipun jauh tapi perjalanan menuju ke sana tidak melewati titik kemacetan
sama sekali, lalu juga pertimbangan dekat dengan rumah Barir (sahabatku)
sehingga meskipun dokter maksum prakteknya malam hari, kami bisa menginap di
rumah sahabatku tersebut jika suatu waktu kemalaman.
Jadilah aku rutin periksa ke dokter maksum setiap bulan.
Secara keseluruhan, Alhamdulillah kehamilanku relatif lancar, tidak ada ngidam,
nggak pernah nge-flek, kenaikan berat badan normal, tensi darah stabil. Mulai
merasa mual di bulan kedua, pada fase-fase ini aku benar-benar bersyukur
mempunyai suami yang sangat siaga, karena kondisi mabukku cukup menghalangiku
untuk beraktifitas, jadilah pak suami yang meng-handle pekerjaan rumah tangga,
mulai dari belanja sayuran, masak, sampai bersih-bersih. Bagaimana tidak,
mencium bau nasi saja aku sudah mual, belum lagi bau masakan-masakan yang lain.
Dan kebetulan, rumah kami yang mungil ini tidak memungkinkan untuk bersembunyi
dari bebauan yang dihasilkan dari dapur, alhasil akupun mendekam di kamar
(hahaha).
Tiap hari kerjaanku cuman melungker di atas kasur, menikmati
rasa mual setiap saat (noted! Setiap saat, bukan hanya pagi hari seperti
istilah yang umum dibilang morning
sickness). Awalnya cukup melelahkan,
tapi lama kelamaan aku mulai bisa berdamai dengan kondisiku. Bagaimana agar
tidak muntah, aku harus mengurangi gerak, sehingga setiap habis makan aku akan
segera naik kembali ke atas kasur, entah bisa tidur atau enggak yang penting
tuh makanan yang baru saja masuk perut kuberi waktu untuk masuk lebih dalam,
yang jelas aku harus meminimalisir gerakan, agar apa yang baru saja kumakan
tidak mendesak keluar lagi. Hihihi… Beruntung aku tidak ada pantangan makanan
apa-apa, semua makanan doyan-doyan aja, jadi meskipun sering muntah, tapi aku
tetap semangat untuk makan dan makan lagi (ini mah rakus kaliii :D).
Seperti diketahui, di kepercayaan yang dianut oleh manusia
Indonesia ini, ketika dinyatakan hamil, seseorang mendadak menjadi sasaran
‘pamali’, yups! Dikit-dikit pamali, kalo dalam bahasa jawa ‘gak ilok’,
dikit-dikit dilarang, yang tentunya hampir semuanya menyebalkan karena tanpa
ada alasan yang jelas dan ilmiah yang mendasari. Apalagi mertuaku adalah orang
desa yang masih menganut larangan-larangan tidak masuk akal itu, jadilah selama
hamil aku berkawan dengan pak guru google untuk mencari kebenaran dan
fakta-fakta, juga berkawan dengan twitter untuk meng-counter hal-hal itu dengan
jawaban dokter yang kudapat dari akun-akun twitter para dokter yang kuikuti.
Hahaha…
Mulai dari dilarang makan rawon (rawon setan maknyuss lhoo…),
nangka (hmm… enak panget lho padahal), duren (yang ini emang nggak doyan),
dilarang tidur pagi/siang (gileee, ngantuk boo’), dilarang duduk di tengah
pintu (kalo makan daun pintu boleh kali yeee…), dan bla..bla..bla..
Sejujurnya aku sudah tau jawaban dari hampir semua larangan
itu, dan tentu saja semuanya mitos alias tidak perlu dipercaya, namun suatu
ketika aku pernah diresahkan oleh salah satu pamali yg lumayan menggangguku.
Yaitu, katanya, orang yang hamil pamali membunuh makhluk hidup, tidak hanya ibu
hamilnya, termasuk juga suaminya. Makhluk hidup di sini lebih merujuk kepada
hewan, termasuk yang biasa dikonsumsi, misalnya udang, lele, mujaer, gurami,
dsb. Nah loh, nyebelin nggak tuh? Apalagi pas ditanya alasannya, dibilang bahwa
nanti bisa karma pada si jabang bayi, entah cacat, atau malah mukanya mirip
hewan tersebut. Na’udzubillah min dzaalik.
Suatu hari, nggak tau kenapa tiba-tiba rumah kami dihuni
banyak tokek. Serem doong??! Sebetulnya tidak mengganggu, tapi aku yang
kebetulan memang agak-agak gampang kagetan, sering terlonjak kaget ketika
tiba-tiba si tokek menampakkan diri. Puncaknya, pernah saat aku membuka lemari
dapur, tiba-tiba “Huaaaa…..!!!” tokek loncat keluar dari balik daun pintu lemari
itu. Aku teriak sekuat tenaga, si tokek tak juga beranjak menjauh, masih di
sekitar dapur, aku yang ketakutan reflek loncat naik ke atas wastafel tempat
cuci piring. Mendengar keributan di dapur, si mas segera berhambur keluar dari
kamar dan langsung memburu si pembuat onar (bukan aku yaaa.. hehe). Sejak saat
itu, si mas rajin memburu hewan-hewan pembuat onar yang berpotensi bikin aku
kaget. Kan nggak lucu banget, demi mempercayai mitos geje, malah membahayakan
kondisi bumil (gimana nggak bahaya, lha wong perut udah gede dibikin sampe naik
ke atas wastafel itu lho)
Perburuan demi perburuan kerap dilakukan oleh si mas, hingga
akhirnya pernah suatu kali si mas berhasil menjebak tikus. Karena sangking jengkelnya
dengan tuh tikus, aku mem-fotonya dan kujadikan Display Picture di BBM. Tak
kurang dari satu menit, banyak BBM masuk, semua mengingatkan untuk tidak
menyiksa hewan karena aku sedang hamil, pamali katanya. Karena sangking
banyaknya yang mengomentari, akhirnya aku galau juga. Malam itu aku gelisah tiada
tara *tsaahhh… tak berani menyampaikan kegalauanku pada si mas, akhirnya aku
mencari jawaban sendiri, atau lebih tepatnya pembenaran diri. Dan Alhamdulillah
dapat :)
Dari pak guru Google aku menemukan hasil tanya jawab
mengenai mitos tersebut. Jawabannya adalah bahwa hal tersebut sama sekali tidak
patut dipercayai, sebab itu sama saja dengan mendahului kehendak Allah SWT.
Pada zaman Rasulullah, beliau tidak pernah melarang shahabatnya (yang istrinya
sedang hamil) untuk menyembelih binatang kurban. Yes, I got it!!! So, ngapain
galau soal mitos dan omongan geje begituan, sala-salah bisa menggiring kita
pada kekufuran lho, kan mendahului takdir Allah. Na’udzubillah min dzaalik.
Bersambung ke Part.2
0 comments:
Posting Komentar