20 Juni 2008

Do I Still Believe In Miracle?

Kususuri rak demi rak toko buku Gramedia, yang kucari belum juga kudapatkan. Aku terus mencari sembari melirik beberapa buku yang terlihat tak kalah menariknya. Usai menonton Talk Show favoritku “Kick Andy” di Metro TV aku dilanda rasa penasaran yang hebat untuk segera membaca Novel yang based on the true story mengenai perjalanan hidup seorang dengan kelamin ganda itu. Sebab berawal dari talk show itu pula seketika terbersit dan kemudian dengan cepat mengakar sebuah planning besar yang ingin kugarap nanti di my postgraduate university (hmm… boleh dong optimis dan bercita-cita??)

Ahhaa…!! Middlesex, itu dia yang kucari”, kulihat cover depan dan belakangnya, ada yang menarik, sebuah stiker yang menunjukkan bahwa buku itu merupakan buku yang telah mendapatkan rekomendasi dari Oprah Show (wow… lagi-lagi talk show favoritku), nggak salah kalau aku berkeras untuk memburunya, sebab kalau berharap mendapatkan undian buku yang digelar oleh Kick Andy di setiap episodenya, hmm… susah deh, yang ada malah nggak jadi baca buku dan meraup sebanyak-banyaknya ilmu.

Ditengah-tengah ekspresi kepuasan pada raut mukaku karena telah menemukan buku yang kucari, tiba-tiba mukaku berubah masam begitu melirik harga yang tertera, “Hhh… mahal sekali! Beli nggak ya?”, maka kuputuskan untuk kembali berkeliling rak untuk melihat-lihat buku-buku yang lain, dan tanpa sengaja aku menemukan satu buku yang mengajakku untuk berkerut dahi “apaan tuh maksudnya?

HORELUYA, sebuah novel karya Arswendo Atmowiloto, menarik sekali judulnya, kata yang harusnya “Haleluya”, tapi disitu ditulis dengan “Horeluya”, saking penasarannya apalagi usai membaca synopsis yang tertera di cover belakangnya, aku memutuskan untuk membayar di kasir dan menunda untuk memiliki Middlesex (sabar ya, bulan depan semoga udah bisa kebeli).

Seperti yang sudah menjadi ciri khas karya Arswendo dimana kisah-kisah yang digarapnya hampir selalu bertema realis, ihwal kehidupan “orang-orang kecil” yang berjuang keras menyiasati hidup. Dituturkan dengan bahasa sehari-hari yang sederhana; humor-humor yang miris, serta akhir yang kerap menyentuh. Tokoh-tokoh ceritanya dipungut dari orang-orang biasa dengan persoalan-persoalan yang biasa yang dapat dengan mudah kita jumpai sehari-hari di sekitar kita. Tokoh-tokohnya tak pernah berpretensi sebagai pahlawan tangguh atau manusia sempurna yang tak pernah berbuat salah. Mereka adalah manusia biasa yang sering putus asa dan tak luput dari dosa. Itulah yang membuat karya-karya Arswendo terasa begitu akrab dan membumi.

Demikian pula dengan novel Horeluya ini, sebuah kisah mengharukan mengenai perjuangan seorang anak yang belum genap berusia 5 tahun bernama Lilin dalam menghadapi penyakit langka berupa kelainan darah yang hanya bisa disembuhkan melalui transfusi dari donor dengan golongan darah yang sejenis. Dari hasil tes laboratorium diduga ada kelainan pada sel darah merahnya. Lilin memiliki golongan darah rhesus negative dan tak mampu memproduksi sel-sel darah putih. Gangguan kesehatan yang paling remehpun akan sangat memperburuk kondisi Lilin, sebab ia tak memiliki kekebalan tubuh. Satu-satunya upaya penyembuhan medis adalah dengan cara transfusi dari golongan darah yang sama. Malangnya, jenis darah Lilin tergolong jenis yang langka. Dokter telah memvonis hidup Lilin hanya akan berkisar antara 3 bulan hingga 6 bulan lagi jika tidak segera mendapatkan donor.

Dalam cerita ini tersebut beberapa keajaiban yang terjadi pada diri Lilin dan keluarganya, namun bagiku keajaiban sesungguhnya justru adalah seorang Lilin sendiri, sebab karena Lilin-lah semua mampu bertahan dalam keterpurukan, sebab Lilin-lah Ayahnya tetap mampu tersenyum saat diminta menandatangani surat penguduran diri dari perusahaannya, karena Lilin-lah Ibunya tetap bertahan menjahitkan pakaian Natal untuk Lilin yang bahkan mungkin tidak ernah sempat dikenakan, dan masih banyak lagi.

Bahkan, pamannya (Nayarana) bisa berbuat apapun untuk Lilin, Nayarana yang berperawakan preman dan ditakuti oleh siapa saja menjadi mudah menangis ketika dengan setia menjagai Lilin yang terbaring lemah berbulan-bulan di kamarnya, Nayarana bisa betah tidak menghisap rokok untuk Lilin, Nayarana rela berbuat apapun untuk Lilin bahkan untuk mencukur habis rambutnya yang selama ini menjadi salah satu modal untuk membuat orang lain bertekuk lutut padanya, bahkan karena keinginan Lilin untuk merayakan Natal sebelum waktunya –karena usia Lilin yang diperkitakan tidak sampai bertemu dengan hari Natal—dengan salju dan Bunda Maria serta gua. Nayarana lagi-lagi tidak mau berkata ‘tidak’ untuk keponakan kecilnya bahkan untuk membuat salju buatan di malam Natal.

Tekanan yang melanda keluarga Lilin, berdampak sangat luar biasa, masing-masing sering mengalami peristiwa-peristiwa konyol yang sama sekai tidak disadari, sebab tekanan yang terlalu lama dan mendalamnya demi melihat Lilin sembuh dan menunggu adanya kabar pendonor darah Rhesus Negative yang entah kapan datangnya.

Dan dari serentetan keajaiban yang turun bersama dengan Lilin, keajaiban terindah berkenaan dengan kesembuhan Lilin pun datang bersertaan dengan ketulusan Lilin yang dengan suara parau dan ekspresi polosnya berkata “Mauuu” yang kemudian menjadi katalisator keajaiban terindah itu, kalimat itu seketika membuat dunia bergetar hingga akhirnya suara dahsyat bernada ketulusan itu menggerakkan semua pihak untuk membantunya.

Keikhlasan dan ketulusan hati Lilin dengan kalimat “Mauuu”-nya untuk mendonorkan darahnya kepada sang calon pendonor darah yang mendadak membutuhkan darah karena kecelakaan yang menimpanya, membuat semua yang mendengarnya menangis.

Sering manusia memang tidak mengerti rencana Tuhan. "Karena rencana-Nya, bukan rencana kita," aku Kokro (hlm. 97). Tetapi, semestinya apa yang terjadi, seperih apapun dampaknya, menjadi sarana "untuk lebih mendekat pada-Nya. Untuk lebih memahami dan mensyukuri Kasih-Nya." (hlm. 97).) Ketulusan kasih Lilin untuk menyumbangkan darah yang sangat ia perlukan adalah bentuk syukur akan kasih Tuhan.

Tampaklah bahwa cinta dan ketulusan Lilin-lah keajaiban yang sebenarnya. Lilin alias Sekartaji ingin menjadi bidadari kendati dalam hidupnya, bagi keluarganya, ia memang telah memperlihatkan 'keajaiban bidadari'. Tetapi, ketika ia menyebutkan kata "Mauuu", ia lebih jauh memperlihatkan kualitas 'keajaiban bidadari' yang dikenal keluarganya. Ia memperlihatkan kualitas keajaiban bidadari dalam bentuk yang paling tinggi, belas kasih yang menyentuh hati, yang sanggup membaurkan teriakan hore dan haleluya (bahasa Ibrani, berarti Pujilah Tuhan) menjadi HORELUYA.

Dari sini kita dapat belajar, bahwa ketulusan dan keikhlasan dapat menjelma menjadi keajaiban yang tak terbandingkan.

0 comments: