17 Januari 2008

SANDARAN HATI


Yakinkah ku berdiri di hampa tanpa tepi bolehkah aku mendengar-Mu

Terkubur dalam emosi tak bisa bersembunyi aku dan nafasku merindukan-Mu
Terpurukku di sini teraniaya sepi dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku kesendirianku

Teringatku teringat pada janji-Mu kuterikat
Hanya sekejap kuberdiri ku lakukan sepenuh hati

Tak peduli ku tak peduli siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti jika Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau benarkah ini jalan-Mu hanyalah Engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku bimbing langkah kakiku aku hilang arah tanpa hadir-Mu
Dalam gelapnya malam hariku

Saat kali pertamanya saya secara tidak sengaja mendengar lagu ini terlantun apik dari Winamp di PC salah seorang teman di rumah kostnya, terus terang saya tersentak kaget dan seolah dipaksa untuk kembali mendengarkannya untuk kedua kali. Segera saya menanyakan soal siapa pelantun lagu tersebut yang kemudian saya ketahui bahwa lagu tang berjudul Sandaran Hati itu adalah lagu yang dipopulerkan oleh sebuah Group Band yang baru saja ikut meramaikan kancah perindustrian musik di Indonesia, Letto. Dari situ saya hanya bisa berdecak kagum terhadap pengarang lagu serta penulis lirik yang saya anggap cukup menyita perhatian saya. Melihat ketertarikan saya yang besar terhadap lagu itu, maka teman saya tersebut menyodorkan selembar kertas bertulskan lirik lagu indah itu secara lengkap yang sempat dia tulis meski masih berantakan.

Benarlah dugaan saya, bahwa lagu itu tidak hanya sekedar syair-syair biasa yang dilantunkan oleh seorang Vokalis group band, namun lebih dari itu, bait-bait indah itu menyimpan makna yang sungguh mempesona ketika coba untuk didefinisikan.

Sebuah nyanyian hati seorang hamba yang memiliki kesadaran yang sungguh luar biasa atas kekerdilan dirinya di hadapan Sang Ilahi, yang dengan kepasrahan penuh sengaja ia gantungkan segala ketidakberdayaannya sebagai sahaya Tuhan sehingga menumbuhsuburkan keikhlasannya atas skenario besar yang dimainkan oleh Sang Maha Segala terhadap dirinya. Hingga pada titik puncak penyerahan jiwa dan raganya lenyaplah segala kekhawatiran akan kesendirian hidup, kesepian ruhani, maupun kekosongan naluri, sebab keyakinan akan kebesertaan Allah dalam setiap helaan nafasnya adalah pilar untuk terus maju menapaki hidup dengan bertopang pada Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Sandaran Hatinya, hingga tiada lagi kesedihan ataupun bahkan keterpurukan yang tak lain adalah scenario Sang Maha Perkasa yang praktis merupakan media pembelajaran hidup menuju insan yang diridloi.
(Yakinkah ku berdiri di hampa tanpa tepi bolehkah aku mendengar-Mu
Terkubur dalam emosi tak bisa bersembunyi aku dan nafasku merindukan-Mu
Terpurukku di sini teraniaya sepi dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku kesendirianku)

(Tak peduli ku tak peduli siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti jika Kaulah sandaran hati)


Kembali dada saya tersentak haru oleh dendang lagu pada bait-bait berikutnya.
Teringatku teringat pada janji-Mu kuterikat
Bagaimana tidak, serasa dipaksa untuk kembali bermuhasabah atas kelalaian tak termaafkan.
Robbanaa Dhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa lanakuunanna min al-khaasiriin

Entah masih pantaskah kita mengaku sebagai hamba-Nya yang beriman, sementara kita seolah lupa dengan saat-saat di mana Allah SWT mengambil sumpah atas ruh-ruh manusia untuk mengikrarkan janji setia sebagai hamba yang berkewajiban senantiasa menegakkan syari’at serta sunnatullah di hamparan alam semesta layaknya seorang khalifatullah.
Harusnya kita selalu sadar bahwa kehidupan yang telah Allah anugerahkan kepada kita saat ini adalah sebuah medan di mana kita harus menunaikan janji kita kepada-Nya yang telah kita ikrarkan dalam Alam Musyahadah.
Alastu bi Robbikum?
Qooluu: Balaa, syahidnaa...
Lalu mengapa, masih saja kita tak hendak beranjak dari kedzaliman yang kita perbuat terhadap diri kta sendiri ini?


Wa ma al-hayaatu ad-dunya illaa qaliil
Memang, harus selalu disadari bahwa kehidupan di dunia yang selalu kita agung-agungkan ini semuanya adalah sementara. Tak lebih dari sekejap seperti yang digambarkan dalam lagu di atas
(Hanya sekejap kuberdiri ku lakukan sepenuh hati)
namun, yang perlu kita pahami bukan hanya terletak pada seberapa lama kehidupan fana ini kita jalani, melainkan juga seberapa maksimal kita mengisi kehidupan ini dengan ketakwaan sebagai bekal amal ibadah yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di Hari Perhitungan. Oleh sebab itu, sebagaimana yang tersurat dalam lanjutan bait syair milik Letto di atas yakni keteguhan untuk menjalankan perintah Tuhan dengan sepenuih hati mengingat begitu singkatnya waktu yang Allah berikan kepada kita dalam mengumpulkan bekal hidup di alam kekekalan, akhirat.

Inikah yang Kau mau benarkah ini jalan-Mu hanyalah Engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku bimbing langkah kakiku aku hilang arah tanpa hadir-Mu
Dalam gelapnya malam hariku

Laa haula wa laa quwwata illa billahi al-'Aliyy al-'Adhiim
Tiada daya ataupun upaya melainkan atas pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’ala

0 comments: