13 Oktober 2009

Teroris di Ciputat, Sebuah Elegi; Antara Aku, Mereka, dan Kampusku

Lagi, penggerebekan sarang teroris terjadi, Jum’at 9 Oktober 2009 media kembali beramai-ramai memberitakan secara eksklusif penggerebekan sarang teroris yang diduga adalah dua orang yang selama ini masauk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Aku yang siang itu baru datang dari luar rumah serasa tak hendak beranjak dari depan layar kaca, bukan hanya karena beritanya tentang teroris, tapi juga (atau lebih tepatnya, lebih karena) TKPnya; Jalan Semanggi Cempaka Putih Ciputat Tangerang Banten.

Jika di pertengahan pemberitaan aku mengganti status Facebook dengan kalimat “Gokil, tempat maen gue ternyata juga dipake Teroris maenan petak umpet”, barangkali memang demikianlah deskripsi paling mengena dalam mengggambarkan kedekatanku dengan TKP. Jadi keterikatan yang sangat dekat itulah yang memintaku untuk stay tuned.

Menit demi menit berlalu, berita yang dikabarkan semakin berkembang, dari nama korban penggerebekan, nama pengelola kost, pemilik kamar no.15 hingga para penghuni rumah kost tersebut. Para pengguna facebook tak kalah heboh, bagaimana tidak, 40 % teman facebookku adalah teman-teman UIN Ciputat, sampai-sampai heboh pula masalah tentang kakak kelas kami yang diinterogasi oleh Densus 88 dan diliput oleh sebuah media online.

Saat hari mulai petang, Kabid Humas POLRI memberikan statement kepada halayak mengenai kejadian siang itu, tapi alih-alih merilis nama korban tewas, yang keluar justru sebuah inisial nama yang disebut-sebut sebagai kurir sang gembong teroris dan telah ditangkap sebelum penggerebekan itu terjadi.

Senin 12 Oktober 2009, berita yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga, setelah menjalani serangkaian tes DVI dan DNA dipastikan bahwa korban tewas dalam penggerebekan hari Jum’at adalah Syaifudin Zuhri/Jaelani dan M.Syahrir, dua gembong teroris otak pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Tidak berhenti sampai di sini, Sony sang pemilik kamar no.15 pun dipastikan adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Deg! Jantungku berdegup kencang, seolah tak percaya sebab dari awal aku tak ingin mempercayai berbagai spekulasi yang bergulir.

Kejutan belum berhenti, hingga diumumkan identitas Fajar yang dari awal telah dikatakan sebagai kurir bagi SJ dan MS, Fajar Firdaus alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Psikologi. Plak!! Wajahku serasa ditampar sekencang-kencangnya mendengar berita itu, terlebih setelah beberapa waktu kemudian kusadari bahwa aku sangat mengenalnya. Hanya satu kalimat yang selalu kugumamkan saat foto-fotonya mulai beredar di layar kaca, “Nggak mungkin” (sebuah ungkapan denial tentunya).

Apa yang sebenarnya terjadi pada teman-teman UINku? Pikiranku mulai menerawang, mencoba memahami apa yang tengah terjadi. Jika mahasiswa/alumni UIN Jakarta memiliki segudang prestasi, itu biasa. Jika mahasiswa/alumni UIN Jakarta memiliki pemikiran nyeleneh bahkan cenderung liberal, itu bukan hal baru. Jika mahasiswa/alumni UIN berada di baris terdepan sebuah demonstrasi menyarakan suara rakyat, itu sudah sejak dulu. Jika mahasiswa/alumni UIN tertangkap karena kasus narkoba, itupun sudah pernah ada. Tapi ini, ini sungguh memprihatinkan.

Aku mencoba terus menganalisa, seperti apa pribadi dua orang mahasiswa dan alumni UIN ini? Mahasiswa dari fakultas ilmu umum (lih: bukan ilmu agama) sering diidentifikasi sebagai mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang lebih manakala disuguhkan dengan hal-hal yang selama ini tak didapatinya (yang berbau agama), taruhlah jika kita perhatikan teman-teman lembaga dakwah kampus yang didominasi oleh mahasiswa/i lulusan SMA (bukan Madrasah Aliyah atau bahkan pesantren, pen.), selain itu bisa dipastikan organisasi ini tampak lebih subur ketika tumbuh di fakultas ilmu umum, bandingkan pertumbuhannya antara di fakultas Sain Teknologi atau Psikologi dengan di fakultas Syariah atau Ushuluddin. Fenomena ini sangat terbaca di lingkungan UIN Jakarta yang semenjak berubah menjadi Universitas tidak lagi menjadi kampusnya anak pesantren, akan tetapi telah berbagi porsi secara seimbang dengan anak-anak lulusan SMA.

Jika melihat nama Universitas yang menaungi berbagai fakultas-fakultas tersebut, seolah membuat orang lain tidak mau tau bagaimana keragaman latar belakang mahasiswa di sana, yang mereka tau bahwa UIN Jakarta adalah Universitas Islam yang tentunya diekspektasikan secara berbeda oleh orang kebanyakan terutama dalam penguatan ajaran Islamnya. Tidak salah memang, di UIN semua fakultas diajarkan Bahasa Arab, Tafsir-Hadits, Akhlak Tasawuf dan lain sebagainya sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) tapi toh hal itu tidak menjadi jaminan bagi mahasiswa/alumni akan menjadi seorang ahli Tafsir maupun Tasawuf.

Ada fenomena yang cukup menarik, manakala mahasiswa berlatar belakang umum (sekali lagi, bukan agama, pen.) tampak memiliki ketertarikan yang lebih besar terhadap pengkajian agama yang di kampus biasa disajikan dan dikemas dengan cara se-mahasiswa mungkin, artinya dengan cara diskusi, tanya jawab, bedah buku-buku agama kontemporer. Bagi mereka, menemukan hal baru dalam bidang spiritual yang melalui proses yang logis dan aplikatif adalah kebutuhan yang selama ini tak ditemukannya di bangku SMA. Menelisik hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang dipilah menjadi D-need (deficiency need) dan B-need (being need) atau biasa disebut dengan kebutuhan Meta, atau lebih familiar lagi adalah Self-Actualization (Aktualisasi Diri)., maka apa yang dicapai oleh mahasiswa-mahasiswa kelompok ini adalah kebutuhan di atasnya B-Need, dimana tahap aktualisasi diri sendiri bukanlah tahap yang hanya akan dicapai oleh pribadi-pribadi yang secara kasat mata telah mapan lahir dan batin, aktualisasi diri masing-masing orang memiliki kadarnya sendiri-sendiri, sebagaimana kadar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di bawahnya (Physiologic, Safety, Belonging and Love, Self Esteem) yang juga berbeda porsi antara satu orang dengan yang lainnya.

Setelah mencapai tahap aktualisasi diri, ada satu fase lagi di atasnya yakni Transendensi, dalam fase ini sisi spiritual seseorang lah yang membutuhkan pemenuhan, dimana kebutuhannya akan sesuatu ‘hal’ di luar dirinya diharapkan bisa menutupi ‘kehampaan diri’ yang dirasakannya. Pemenuhan kebutuhan ini lebih bersifat sangat pribadi, hanya antara individu dengan ‘dzat’ di luar dirinya, yang mana kesempurnaan dari transendensi ini akan mengantarkan seseorang pada Peak Experience, sebuah pengalaman puncak yang bersifat spiritual yang hanya akan dicapai setelah melalui serangkaian proses yang sangat terjal dan membutuhkan tingkat pengorbanan yang sangat tinggi.

Barangkali inilah kemudian yang disasar oleh oknum-oknum pencuci otak dalam merekrut anggota ‘jihad’ versi mereka, termasuk dalam menyiapkan para suicide bomber, dengan segala nilai perjuangan yang terkandung di dalamnya yang kesemuanya adalah versi yang mereka buat sendiri sebagai pembenaran atas langkah yang mereka jalani. Menyoal rekrut-merekrut ini sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya di tahun 2006/2007 UIN dihebohkan dengan banyaknya mahasiswa yang menjadi korban perekrutan sebuah aliran keagamaan dengan ajaran Islam yang telah mereka modifikasi sesuka hati, dengan penggunaan dalil ayat-ayat Alquran yang asal comot sini comot sana tanpa prosedur yang jelas dengan tujuan sekuat mungkin landasan ajaran yang diberikan dan agar tampak lebih masuk akal dan berdasar (dua hal yang harus dipenuhi ketika berbicara dengan pelajar level mahasiswa). Ketika itu banyak teman kami yang menjadi korbannya, sampai-sampai ada yang telah mengeluarkan uang untuk kelompok tersebut dengan mengatasnamakan loyalitas, meski tak sampai terjadi penculikan seperti yang dialami oleh seorang mahasiswa ITB 2 tahun silam.

Di balik semuanya, hanya mampu berharap kedua teman kami terbukti tidak memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kejadian terorisme yang hina itu, dan semoga tak ada lagi terror-teror lain yang menghantui persada tercinta.

Rabbi ij’al haadzaa baladaan aaminan warzuq ahlahu minats tsamaraati man aamana minhum billahi wal yaumil aakhir... (Al-Baqarah: 126)

0 comments: