4 Oktober 2009

Santun dalam Doa

“Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini agar diterima kerja di perusahaan itu”,” Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini agar berjodoh dengan dia”.
Kalimat-kalimat doa tersebut tentulah sudah menjadi bagian dari doa-doa yang sering kita panjatkan ke hadirat-Nya, lantas saat kita tidak berhasil mendapatkan sesuatu sebagaimana apa yang kita inginkan dan mohonkan --kepada Allah agar dikabulkan—kita pun merasakan kekecewaan yang teramat sangat hingga menganggap Allah mengingkari janji-Nya sebagai Sang Penjawab segala doa hamba-Nya. Tidak hanya itu, saat apa yang kita inginkan akhirnya terraih yang namun kemudian ternyata berlanjut tidak sesuai dengan yang kita canangkan, kita pun mengeluh dan kecewa.

Saat sedang berdoa, tentulah kita sangat berharap bahwa apa yang kita mohonkan dapat terkabul persis sebagaimana yang kita harapkan. Tidak ada yang salah memang, sebab kita memang seyogyanya berbaik sangka terhadap Allah karena Allah berlaku sebagaimana apa yang disangkakan oleh hamba-Nya. Namun ada satu hal yang sering tidak kita sadari, bahwa dalam untaian-untaian doa itu sering kita mendikte Allah dengan keinginan-keinginan duniawi kita yang begitu beragam dan ‘sayangnya’ selalu kita anggap sebagai hal yang benar-benar terbaik dan kita butuhkan.

Kita sering lupa, bahwa bahkan mengenai diri kita sendiri pun Allah lebih mengetahuinya, lantas mengapa kita masih sering menganggap bahwa hanya diri kita sendirilah yang tahu akan diri kita. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Pengetahuan Allah akan hamba-Nya meliputi segala sesuatu, oleh karenanyalah Allah yang paling tahu apa yang terbaik dan yang paling dibutuhkan oleh hamba-Nya.

Itulah sebabnya, Nabi Allah Musa Alaihissalam memberikan tauladan di dalam doanya, saat beliau sedang dalam pelarian dari Mesir tempatnya selama ini hidup karena ancaman raja Fir’aun. Usai membantu dua gadis kakak beradik untuk memberi minum pada hewan ternak mereka, beliau berdoa, Rabbi inni limaa anzalta ilayya min khairin faqiir (QS.Al-Qashash: 24), Ya Tuhan, anugerahkan kepada hamba suatu kebaikan yang hamba fakir atasnya. Saat itulah Allah yang maha mengetahui segala sesuatu berkenaan dengan hamba-Nya mempertemukan beliau dengan keluarga Nabi Syu’aib yang kemudian memberinya pekerjaan dan juga seorang puteri cantik nan shalihah sebagai istrinya.

Dalam doa nabi Musa, tidak kita dapati satu pun kalimat spesifik dari bentuk anugerah-anugerah besar yang Allah berikan sebagai jawaban, namun atas kemaha Bijaksanaan Allah diberikanlah anugerah kepada nabi Musa sebagaimana yang dipanjatkan dalam doanya, yakni sesuatu yang ia butuhkan, dan tentu saja Allah dengan kemahaan-Nya dalam Mengetahui menurunkan anugerah yang diketahui-Nya sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan yang terbaik bagi Nabi Allah Musa Alaihissalam.

1 comments:

Bagus mengatakan...

Tulisan yang Bagus.. Kadang kita lupa yang baik buat kita belum tentu terbaik.. justru sebaliknya, yang dikasih allah adalah yang terbaik buat kita walau menurut kita buruk..