15 Februari 2010

Serba Serbi Mahasiswi Jalanan

Nggak nyangka, sudah satu semester aku sang anak jalanan ini kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Rumahku yang tepat berada di sebelah selatan kota Surabaya membuatku memutuskan untuk tidak tinggal di kost melainkan menjangkaunya dari rumah. Setiap hari bolak-balik Sidoarjo-Surabaya dengan angkutan umum tak dipungkiri menimbulkan kelelahan juga, tapi dalam setiap kelelahan yang kurasakan akibat perjalanan 90 menit pulang dan pergi seringkali terbayar saat bertemu dengan segala serba-serbi kehidupan jalanan Surabaya.


Lucu, jengkel, unik, geram, menyentuh, geregetan, sedih, kesal, dan segala macam emosi pernah kurasakan. Namanya juga serba-serbi, tentunya semua serba ada. Perjalananku dimulai dari rumahku menuju jalan raya yang biasa kutempuh dengan menggunakan sepeda angin, sebenarnya jaraknya tidak jauh, + 250 meter saja, tapi karena aku sering pulang dari kampus hingga larut malam, jadi berasa agak serem aja kalau harus berjalan kaki sendirian malam-malam. Biasanya sepeda kutitipkan di sebuah penitipan sepeda yang letaknya tidak jauh dari jalan raya tempat aku mulai naik dan nantinya turun dari angkot.


Perjalanan Sidoarjo sampai dengan Terminal Joyoboyo (Surabaya) adalah perjalanan terjauhku sebelum nantinya oper angkutan berikutnya. Di angkot Sidoarjo-Surabaya ini banyak sekali hal-hal yang kutemui, dari angkot ini pula aku bertemu dengan berbagai macam karakter manusia dengan segala problematikanya.


Suatu ketika, aku bertemu dengan penumpang yang mengeluh karena baru saja kecopetan HP di bis Mojokerto-Surabaya yang baru ditumpanginya, dari perbincangan kami tersebut kemudian sang sopir pun membagi berbagai tips menghadapi copet yang ia akui telah ia kenal semua oknumnya terlebih yang beroperasi di wilayah trayek angkutannya.


Saking seringnya bertemu dengan orang-orang yang berbeda tiap harinya, aku jadi sedikit bisa memetakan karakter seseorang berdasarkan asal daerahnya bahkan sebelum mereka mengeluarkan suara, seperti orang Surabaya Asli yang selalu bikin aku beristighfar mendengar umpatan-umpatannya, orang Lamongan yang sering membuatku geli sendiri melihat tingkahnya yang ‘nggak banget’, orang Madura yang membuatku geleng-geleng kepala, orang dari Indonesia Timur yang selalu menarik perhatianku dengan logat bicaranya, dan beberapa orang Jawa Tengah yang tentu saja bahasanya membuatku tersenyum mengingat teman-teman lamaku dari Jawa Tengah. (maaf ya, nggak bermaksud Rasis)


Di angkot ini pula aku bertemu dengan seorang sopir yang akhirnya kunobatkan sebagai “The best Driver”, tau kenapa? Bukan apa-apa, beliau hanya seorang sopir biasa, tapi tingkah lakunya sangat menegesankanku, tenang, ramah, sabar, perhatian, pokoknya the best lah. Setiap ada yang mau naik, dari belakang kemudi dia selalu meneriakkan kalimat untuk mempersilahkan penumpangnya naik, tidak lupa berkata “hati-hati mbak/mas…” begitu pula saat penumpang akan turun, ia juga mengingatkan kami untuk tidak sampai lupa dengan barang bawaan kami, saat ada yang membayar ongkos setiap penumpang pasti diberi ungkapan terima kasih . Dia juga tidak mengesalkan penumpang dengan berlama-lama nge’time’, kecuali benar-benar ada penumpang yang akan naik, itu pun pasti dia mengucapkan maaf kepada para penumpang karena angkot harus berhenti sebentar menunggu sang penumpang baru yang sedang berjalan.


Dari angkot ini pula, aku mendapat banyak info penting tentang kehidupan, tentang bagaimana kehidupan para sopir angkot yang semakin hari semakin sulit, sepinya penumpang, naiknya harga spare part mobil, tingginya setoran yang harus dibayarkan setiap harinya, bensin yang harus dikeluarkan setiap perjalanan pulang pergi, dan lain sebagainya. Di suatu hari aku juga menikmati perbincangan para pria-pria yang berjuang demi keluarganya, bekerja ini itu, dengan hasil sebesar segini segitu, hingga strategi para sopir truk dalam menghias truknya dengan berbagai tulisan yang ternyata baru kuketahui bahwa hal itu memiliki makna tersendiri serta mengandung berbagai harapan. Seperti bedanya tulisan yang pesimis ataupun optimis serta bagaimana dampaknya. (Ah ada-ada saja), tapi jujur aku sangat menikmati segala pengalaman ini.


Sesampainya di terminal Joyoboyo, aku berganti angkutan P jurusan Joyoboyo-Kenjeran yang via Karangmenjangan, dan aku turun di kampus B Unair. Di terminal, ini yang paling bikin kesal, karena aku harus menunggu hingga angkot terisi penuh barulah diberangkatkan, dan tidak seperti di Jakarta yang sudah menjadi kebiasaan para sopir meneriakkan angka ” 46, 46...!!!” yang artinya bangku pendek diisi 4 orang dan bangku panjang 6 orang, karena di Surabaya meskipun tidak diteriakkan sesering di Jakarta, angkot diisi dengan formasi 47, belum lagi bangku tambahan yang menghadap belakang di samping pintu, itu musti terisi 2 orang! (omg... sampe lumutan deh pokoknya!). Tapi kehidupan selain harus dijalani, memang harus dinikmati, begitulah akhirnya aku mulai berusaha berdamai dengan suasana terminal.


Di terminal ini, aku mulai mengenal wajah-wajah tetap yang ada di situ, yaitu calo angkot, pengemis (baik tua maupun anak-anak), serta pengamen dan PKL, hafal betul aku dengan mereka, karena memang mereka berada di situ setiap hari. Ada satu orang ibu pengemis yang dulu masih awal-awal mencuri perhatianku karena perilakunya yang menyuruh anaknya yang berusia kira-kira 9-10 tahun untuk ikut mengemis, miris sekaligus geram melihatnya. Tapi mau tidak mau aku harus melihat pemandangan ini setiap hari, hingga suatu hari aku pernah duduk bersebelahan dengan seorang penumpang wanita yang mengaku 9 tahun yang lalu juga kuliah di Unair, menurut ceritanya ia telah melihat sang ibu pengemis sejak dia rutin naik angkot ini saat mesih kuliah dulu, dan saat itu (menurut si Mbak tadi) ibu pengemis itu sambil menggendong anak yang masih bayi (What??? Jadi anak yang selama ini kulihat itu sudah ikut mengemis sejak bayi...??)


Ah entahlah, aku sedang tidak ingin berkomentar, terlebih sampai suatu ketika ternyata ibu pengemis ini pula yang menjadi penolong di angkot P ini. Ceritanya, saat itu terminal sedang sangat ramai hingga untuk menunggu angkot penuh pun tidak perlu menunggu lama, aku yang sudah duduk di dalam tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan si ibu yang memarahi seorang laki-laki yang terlihat hendak naik angkot yang kutumpangi, aku tak begitu jelas mengikuti kronologisnya, yang jelas beberapa menit kemudian kuketahui ternyata ibu pengemis itu memergoki seseorang yang hendak mencopet HP salah seorang penumpang di angkot ini. (Hhh... terima kasih Bu...)


Selanjutnya di angkot P, pengalaman juga tak kalah seru, mulai dari curhatan sang sopir akan nasib bangsa ini sejak dipimpin oleh presiden terpilih (wah, politis banget deh nih sopir!), lantas serombongan oma-oma yang selalu rutin tiap minggu mencarter angkot untuk pergi ke gereja, hingga obrolan para pemain topeng monyet, suka-duka mereka, tips-tips serta pantangan yang harus diikuti saat ada orang yang menyewa pertunjukannya, hingga berapa rupiah kocek yang mereka terima setiap harinya.


Karena Angkot ini adalah angkutan yang sama menuju Rumah Sakit Dr.Sutomo, maka di angkot ini pula aku belajar banyak akan ilmu ketegaran dari begitu banyak penumpang angkot yang sedang menjalani pengobatan dari penyakit-penyakit beratnya, seperti kanker, tumor dan jantung. Aku begitu terharu melihat kebesaran hati mereka yang tetap kuat bercerita mengenai sakit kankernya, perjalanan kemoterapinya, dengan segala kesulitan biaya yang mereka hadapi, serta plus minus pelayanan rumah sakit. (untuk mereka, terima kasih atas pelajaran hidupnya...)


Sampai pada suatu hari, di angkot P ini pula, aku yang seperti biasa pulang kuliah bersama dengan seorang teman sekelas yang sudah berkeluarga (Bu Yessica), mengendarai angkot ini dari kampus hanya berdua, beberapa saat kemudian di pertengahan jalan ada 2 orang pria yang naik dan kemudian berulah. Dan tahukah kalian apa yang hendak mereka perbuat kepada kami?? Kami hendak dihipnotis!! What?? Yups, Hipnotis!! Percaya nggak? Harus percaya dong...! Yups, sebagaimana diajarkan di kuliah kami, step-step hipnotis pun mereka jalankan secara berurutan, mulai menggiring pembicaraan dengan berbagai topik, hingga mencoba menarik perhatianku agar aku mau menghadapkan mukaku kepada mereka. Huakakakak... pengen ngakak pokoknya, secara (bacanya dengan logat gaul ya..!), kita kan anak Psikologi, udah magister pula, masa iya nggak tau gelagat orang?! (ups! Nggak boleh sesumbar ding!), yah pokoknya pada akhirnya mereka pun mengalah dan turun di jalan dengan kemudian disusul gelak tawa kami berdua yang telah berhasil membuat mereka putus asa karena gagal mendapat mangsa.


Fiuuh... banyak banget deh pengalamannya, dan tentunya berbeda-beda rasanya. Semester depan kayaknya aku masih akan setia dengan angkot, karena ternyata kami baru akan PKL semester 3 nanti. Masih kuat nggak ya? Harus kuat lah! Demi menuntut ilmu (huweeek...! sok banget ya gue!), jadi teringat tanggapan salah seorang calon tante baruku di Wonocolo saat bertandang ke rumah. ” Kenapa nggak minta antar jemput saja?” (gubrak!! Aduuuh, nggak banget deh..)

0 comments: