Hari-hari di bulan Dzulqo’dah
hingga Dzulhijjah seperti ini menjadi bulan yang ‘mellow’ banget buatku, dan itu sudah berlangsung sejak belasan
tahun yang lalu. Pasalnya, di bulan tersebut adalah saat dimana ummat Muslim di
dunia ini melaksanakan ibadah haji. Nah, lantas apa hubungannya bulan haji
dengan mellow-nya diriku? Yups, nggak
tau kenapa aku selalu saja merasakan getaran yang sangat dahsyat ketika melihat
ka’bah (gambarnya ya, kan belum pernah secara langsung). Selain ka’bah, ada
satu lagi ‘pernik’ haji yang ketika muncul maka silahkan sahabat sekalian
menghitung mundur 3 s/d 1 maka langsung byuurrr….. melelehlah air mataku.
Labbaik Allahumma labbaik…. Labbaika laa syariika laka labbaik…
Getaran itu tak pernah sembuh dan
aku pun tidak menginginkannya menghilang dari diriku. Tentunya sudah tidak
perlu ditanyakan lagi sebesar apa keinginanku untuk beribadah di sana, amat
sangat banget-banget very much!!!
Menyadari bahwa keinginan mulia
itu haruslah diusahakan, selain dengan ibadah yang terus diperbanyak dan
ditambah kualitasnya agar ‘panggilan’ itu segera datang, juga yang tidak boleh
dikesampingkan adalah tabungan.
Dulu saat masih kuliah di Jakarta,
secara tidak sengaja aku membeli sebuah celengan terbuat dari kaleng yang hanya
terdapat satu lubang yang digunakan untuk memasukkan uang ke dalamnya, selain
dari lubang tersebut tidak ada jalan lain menuju rongga di dalamnya, sehingga tak
ada cara buatku untuk tergiur membukanya saat kepepet butuh duit. Berawal dari
celengan seharga sepuluh ribu rupiah itulah komitmen untuk rutin mengisinya
dimulai. Uang pecahan seribu rupiah yang akhirnya kupilih untuk mengisinya,
alasannya karena tidak terlalu berat buat anak kost sepertiku, biasanya sisa
kembalian uang angkot atau sisa beli sarapan sebelum berangkat kuliah
kusisihkan dan segera kumasukkan ke dalam celengan kaleng itu. Dan yang tak
kalah menyenangkan adalah karena kedua orang teman di pesantren pun mengekor,
mereka ikut-ikut membeli celengan yang sama, walhasil kita bertiga pun berpacu
untuk serajin mungkin mengisinya, meski tak jarang berbuntut dengan
ledek-meledek kala ada satu orang yang mengisi celengannya sementara yang lain
merasa sudah berminggu-minggu absen mengisi celengan.
“Cieee…. Ehm..ehm.. Nyelengi teruusss! Ngisi Teruusss! Penuh,
penuh, penuh!!”
Ada satu lagi yang menarik dari
celengan itu, di sisi kaleng tersebut kutempelkan kertas bertuliskan “ONH”
alias Ongkos Naik haji. Hihihi… lucu kan?? Terlihat konyol sih, tapi nggak tau
kenapa aku benar-benar sepenuh hati waktu menulisnya, dan satu lagi, aku dengan
PD-nya memajang kaleng itu di atas lemari bukuku.
Saat kami bertiga telah lulus,
satu persatu membuka celengan masing-masing yang memang sudah penuh. Meski membukanya
di rumah masing-masing kami berkomitmen untuk saling memberitahu isi tabungan
yang diperolehnya. Karena si Munay yang lulus terlebih dahulu, maka dialah yang
pertama kali memecah celengannya, dan totalnya tigaratus sekian ribu. Ahhhaaa….
Aku langsung menghayal dan PD dalam hati, “pasti
punyaku lebih dari 500 ribu
” karena aku masih ingat banget selain uang
pecahan Rp.1000 aku juga pernah mengisinya dengan uang pecahan Rp.5000 sampai
Rp.20.000. (Oh ya, by the way, Celengan si Mamah berapa ya
isinya? Lupa nanyain sampai sekarang, lulusnya belakangan sih…)
Beberapa bulan berkutnya, giliran
aku yang lulus dan kembali ke kampung halaman. Harusnya sih tiba waktunya aku
mebuka celengan, tapi entah kenapa aku tak sampai hati membongkar kaleng
berwarna pink bergambar strawberry itu. Bulan berganti bulan sampai aku masuk
kuliah S2 pun tak segera kubuka. Alasannya, karena masih bingung. Bingung nanti
mau diapain uangnya, nggak seberapa sih, tapi kan sayang kalau ujung-ujungnya
cuman buat jajan atau beli baju, secara kan ngumpulinnya lama banget, masa iya
dihabisin buat jajan begitu aja. Buat daftar haji?? Owalah… jauh banget….!!! Hehehe
Sampai suatu hari di bulan
Ramadhan, aku yang gandrung banget sama sinetron Para Pencari Tuhan dibuat
terharu dengan perjuangan Asrul dan Udin. Asrul, tokoh yang digambarkan amat
sangat miskin, bahkan untuk makan sehari-hari pun menunggu uluran tangan dari
tetangga dan juga memetik bayam yang tumbuh liar seperti rumput di kebun pak
Jalal. Sementara Udin, seorang Hansip yang menyambi bekerja sebagai tukang ojek
dan sesekali juga melakukan apa saja yang disuruhkan oleh Pak Jalal kepadanya. Mereka
berdua dengan gigih mengumpulkan uang gopek demi gopek, seceng demi seceng,
goceng demi goceng mereka kedalam sebuah kotak kayu yang ia simpan di dalam
tanah saking pengennya bisa naik haji.
Hmm… pengen deh kayak gitu. Mungkin
nggak sih itu ada dalam kehidupan nyata?? Tentu sangat mungkin, karena beberapa
hari yang lalu aku menyaksikan sendiri liputan di TV mengenai cerita yang
serupa. Seorang janda setengah baya dengan 3 orang anak yang tinggal di sebuah
desa kecil di salah satu kabupaten di Jawa tengah, sehari-hari ia tinggal di
sebuah gubuk yang penuh dengan rongga cahaya di sana-sini karena terbuat dari
bilik bambu dan seng yang telah lapuk. Setiap hari ia berjualan kue khas daerah
setempat (aku lupa nama makanannya, yang jelas aku belum pernah menemuinya di
daerah tempat tinggalku). Dengan penghasilan paling besar adalah 25.000 rupiah
setiap hari, siapapun tak akan menyangka, bahwa di tahun ini ia berhasil
mewujudkan impiannya untuk beribadah di tanah suci memenuhi panggilan-Nya.
Rahasianya? Ternyata si ibu sudah
menabung sejak 13 tahun yang lalu, ia rajin mengumpulkan uang yang didapatnya (setelah
digunakan untuk keperluan sehari-hari) dan kemudian membelanjakannya untuk
membeli perhiasan emas yang kemudian ia masukkan ke dalam sebuah gelas plastik dan
menguburnya di dalam tanah yang tidak lain adalah lantai rumahnya. Dari tabugnan
yang disiplin ia kumpulkan itulah, tahun ini telah menggenapkan keinginannya
untuk mencium Hajar Aswad dengan dibelai cinta-Nya di tanah yang sangat mulia,
Makkah al-Mukarromah.
Dari situlah aku meneguhkan
hatiku untuk tidak tergoda menggunakan uang celengan yang tak seberapa itu,
bagaimanapun juga, sampai kapanpun juga, menunggu se-lama apapun juga, celengan
itu harus tetap pada niatnya sedari awal, yaitu ONH, sesuai dengan tulisan yang
masih menempel di sisi kaleng berdiameter 15 cm tersebut.
Dan setelah menganggur hampir
setahun sejak kelulusanku dari S1, akhirnya celengan itu bertemu dengan nasib
yang digariskan untuknya. Semua berawal tatkala kakakku yang nomer dua mengadu
nasib di Jakarta, ijazah Sarjana Hukum yang digenggamnya gagal mengantarkannya
untuk duduk di sebuah law firm
seperti yang diidamkannya, karena nasib memaksanya banting stir dan menerima
apapun peluang yang ada didepan matanya.
Lowongan sebagai marketing di
Bank Mega Syari’ah pun diterimanya. Kejaran target perolehan nasabah yang harus
didapatnya untuk bisa memantapkan posisinya di kantor lah yang akhirnya mau
tidak mau membuat seisi rumah dibuat heboh, karena ia memaksa kami serumah
untuk membuka rekening haji di bank tempat ia bekerja, tidak hanya kami
serumah, saudara-saudara dekat, saudara-saudara jauh, hingga teman-teman lama
pun ia todong untuk mau menyisihkan uangnya sebagai saldo awal membuka tabungan
haji. Semua pun tak tega melihat dia pontang-panting mencari nasabah sebegitu
banyaknya, demi memenuhi target yang bisa mengubah nasibnya dari pegawai
kontrak menjadi seorang karyawan tetap, bahkan terus menanjak menjadi Team Leader hingga (kandidat) Regional Marketing Manager seperti yang telah dicapainya sekarang.
Dari situlah celenganku menemukan
masa depannya, dengan minimal saldo awal sebesar Rp.200 ribu saja kami sudah
bisa mendapatkan buku tabungan dan kartu ATM bergambar ka’bah.
Yes, it’s time to break the Celengan. Disaksikan orang seisi rumah,
celengan kaleng itu kubuka menggunakan gunting, lembar demi lembar kubuka lipatannya
dan kususun per sepuluh lembar agar lebih mudah menghitung. Deg-degan banget
rasanya, rasa percaya diri bahwa isinya akan melebihi nominal 500 ribu pun
perlahan berangsur-angsur memudar, karena ternyata isi celengan itu hanya Dua
Ratus Enam Puluh Dua Ribu Rupiah. Alhamdulillah…. Yang penting bisa buat
membuka rekening haji lah… hehehe…

Dan akhirnya fotocopy KTP beserta
segepok uang seribuan itu kuserahkan kepada kakakku,
Bismillahirrahmanirrahiim…. Ya Allah, tumpukan uang penuh dengan
bekas lipatan ini adalah sebuah niat yang kutitipkan kepada-Mu, hanya nol koma
sekian persen dari ONH, tapi itu lebih dari 100% dari keteguhan hatiku untuk
segera menginjakkan kaki di tanah suci-Mu. Aku rindu Ya Allah, amat sangat
rindu untuk segera bersujud dihadapan ka’bah yang berada dititik nol kilometer
bumi ini. Aku rindu untuk memanjatkan syair cinta di depan makam kekasih-Mu. Aku
rindu, amat sangat merindu mengucakan kalimat Talbiyah yang selama ini terus
menguras air mataku.
Labbaik Allahumma Labbaik…
Labbaika Laa syariika laka labbaik…
Innalhamda wan ni’mata laka wal mulk…
Laa syariika laka…