
Jika di pertengahan pemberitaan aku mengganti status Facebook dengan kalimat “Gokil, tempat maen gue ternyata juga dipake Teroris maenan petak umpet”, barangkali memang demikianlah deskripsi paling mengena dalam mengggambarkan kedekatanku dengan TKP. Jadi keterikatan yang sangat dekat itulah yang memintaku untuk stay tuned.
Menit demi menit berlalu, berita yang dikabarkan semakin berkembang, dari nama korban penggerebekan, nama pengelola kost, pemilik kamar no.15 hingga para penghuni rumah kost tersebut. Para pengguna facebook tak kalah heboh, bagaimana tidak, 40 % teman facebookku adalah teman-teman UIN Ciputat, sampai-sampai heboh pula masalah tentang kakak kelas kami yang diinterogasi oleh Densus 88 dan diliput oleh sebuah media online.
Saat hari mulai petang, Kabid Humas POLRI memberikan statement kepada halayak mengenai kejadian siang itu, tapi alih-alih merilis nama korban tewas, yang keluar justru sebuah inisial nama yang disebut-sebut sebagai kurir sang gembong teroris dan telah ditangkap sebelum penggerebekan itu terjadi.
Senin 12 Oktober 2009, berita yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga, setelah menjalani serangkaian tes DVI dan DNA dipastikan bahwa korban tewas dalam penggerebekan hari Jum’at adalah Syaifudin Zuhri/Jaelani dan M.Syahrir, dua gembong teroris otak pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Tidak berhenti sampai di sini, Sony sang pemilik kamar no.15 pun dipastikan adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Deg! Jantungku berdegup kencang, seolah tak percaya sebab dari awal aku tak ingin mempercayai berbagai spekulasi yang bergulir.
Kejutan belum berhenti, hingga diumumkan identitas Fajar yang dari awal telah dikatakan sebagai kurir bagi SJ dan MS, Fajar Firdaus alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Psikologi. Plak!! Wajahku serasa ditampar sekencang-kencangnya mendengar berita itu, terlebih setelah beberapa waktu kemudian kusadari bahwa aku sangat mengenalnya. Hanya satu kalimat yang selalu kugumamkan saat foto-fotonya mulai beredar di layar kaca, “Nggak mungkin” (sebuah ungkapan denial tentunya).

Aku mencoba terus menganalisa, seperti apa pribadi dua orang mahasiswa dan alumni UIN ini? Mahasiswa dari fakultas ilmu umum (lih: bukan ilmu agama) sering diidentifikasi sebagai mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang lebih manakala disuguhkan dengan hal-hal yang selama ini tak didapatinya (yang berbau agama), taruhlah jika kita perhatikan teman-teman lembaga dakwah kampus yang didominasi oleh mahasiswa/i lulusan SMA (bukan Madrasah Aliyah atau bahkan pesantren, pen.), selain itu bisa dipastikan organisasi ini tampak lebih subur ketika tumbuh di fakultas ilmu umum, bandingkan pertumbuhannya antara di fakultas Sain Teknologi atau Psikologi dengan di fakultas Syariah atau Ushuluddin. Fenomena ini sangat terbaca di lingkungan UIN Jakarta yang semenjak berubah menjadi Universitas tidak lagi menjadi kampusnya anak pesantren, akan tetapi telah berbagi porsi secara seimbang dengan anak-anak lulusan SMA.

Ada fenomena yang cukup menarik, manakala mahasiswa berlatar belakang umum (sekali lagi, bukan agama, pen.) tampak memiliki ketertarikan yang lebih besar terhadap pengkajian agama yang di kampus biasa disajikan dan dikemas dengan cara se-mahasiswa mungkin, artinya dengan cara diskusi, tanya jawab, bedah buku-buku agama kontemporer. Bagi mereka, menemukan hal baru dalam bidang spiritual yang melalui proses yang logis dan aplikatif adalah kebutuhan yang selama ini tak ditemukannya di bangku SMA. Menelisik hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang dipilah menjadi D-need (deficiency need) dan B-need (being need) atau biasa disebut dengan kebutuhan Meta, atau lebih familiar lagi adalah Self-Actualization (Aktualisasi Diri)., maka apa yang dicapai oleh mahasiswa-mahasiswa kelompok ini adalah kebutuhan di atasnya B-Need, dimana tahap aktualisasi diri sendiri bukanlah tahap yang hanya akan dicapai oleh pribadi-pribadi yang secara kasat mata telah mapan lahir dan batin, aktualisasi diri masing-masing orang memiliki kadarnya sendiri-sendiri, sebagaimana kadar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di bawahnya (Physiologic, Safety, Belonging and Love, Self Esteem) yang juga berbeda porsi antara satu orang dengan yang lainnya.
Setelah mencapai tahap aktualisasi diri, ada satu fase lagi di atasnya yakni Transendensi, dalam fase ini sisi spiritual seseorang lah yang membutuhkan pemenuhan, dimana kebutuhannya akan sesuatu ‘hal’ di luar dirinya diharapkan bisa menutupi ‘kehampaan diri’ yang dirasakannya. Pemenuhan kebutuhan ini lebih bersifat sangat pribadi, hanya antara individu dengan ‘dzat’ di luar dirinya, yang mana kesempurnaan dari transendensi ini akan mengantarkan seseorang pada Peak Experience, sebuah pengalaman puncak yang bersifat spiritual yang hanya akan dicapai setelah melalui serangkaian proses yang sangat terjal dan membutuhkan tingkat pengorbanan yang sangat tinggi.
Barangkali inilah kemudian yang disasar oleh oknum-oknum pencuci otak dalam merekrut anggota ‘jihad’ versi mereka, termasuk dalam menyiapkan para suicide bomber, dengan segala nilai perjuangan yang terkandung di dalamnya yang kesemuanya adalah versi yang mereka buat sendiri sebagai pembenaran atas langkah yang mereka jalani. Menyoal rekrut-merekrut ini sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya di tahun 2006/2007 UIN dihebohkan dengan banyaknya mahasiswa yang menjadi korban perekrutan sebuah aliran keagamaan dengan ajaran Islam yang telah mereka modifikasi sesuka hati, dengan penggunaan dalil ayat-ayat Alquran yang asal comot sini comot sana tanpa prosedur yang jelas dengan tujuan sekuat mungkin landasan ajaran yang diberikan dan agar tampak lebih masuk akal dan berdasar (dua hal yang harus dipenuhi ketika berbicara dengan pelajar level mahasiswa). Ketika itu banyak teman kami yang menjadi korbannya, sampai-sampai ada yang telah mengeluarkan uang untuk kelompok tersebut dengan mengatasnamakan loyalitas, meski tak sampai terjadi penculikan seperti yang dialami oleh seorang mahasiswa ITB 2 tahun silam.
Di balik semuanya, hanya mampu berharap kedua teman kami terbukti tidak memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kejadian terorisme yang hina itu, dan semoga tak ada lagi terror-teror lain yang menghantui persada tercinta.
Rabbi ij’al haadzaa baladaan aaminan warzuq ahlahu minats tsamaraati man aamana minhum billahi wal yaumil aakhir... (Al-Baqarah: 126)
0 comments:
Posting Komentar