6 Desember 2014

My Breastfeeding Story



Postingan kali ini saya mau cerita tentang perjalanan ASI eksklusif Aqueena. Saya yakin, tiap-tiap ibu pasti punya cerita sendiri tentang perjuangannya dalam memberi ASI kepada buah hatinya, bahkan tidak sedikit pula yang  meski sudah memiliki beberapa anak, akan tetapi perjuangan dalam memberi ASI nya berbeda pada tiap anak, baik suka maupun dukanya.

Sebelum hamil, saya tidak terlalu paham mengenai lika-liku dan serba-serbi pemberian ASI kepada bayi. Yang saya tahu bahwa tentu saja saya akan memberikan ASI begitu juga setiap orang tua akan memberikan ASI dengan sukses tanpa kendala apapun. Kenapa saya berpikiran seperti itu? Ya karena yang saya lihat semua saudara-saudara terdekat saya semuanya memberikan ASI, jadi pikiran saya menyimpulkan bahwa anak bayi ya pasti minumnya ASI.

Hingga saat saya akhirnya dinyatakan hamil, saya jadi punya kebiasaan baru yang menemani hari-hari mual saya di atas kasur sepanjang hari, yaitu; browsiiiiiiing tiada henti. (Hehehehe…). Dari situ saya mulai kenal akun twitter @ID_AyahASI, ketertarikan dan rasa penasaran saya terhadap akun ini akhirnya menggiring saya membaca twit-twit serta posting-posting blog mengenai perjuangan malaikat-malaikat di luar sana dalam memperjuangkan pemberian ASI untuk  buah hati mereka. Bagaimana mereka harus bersitegang dengan pihak Rumah Sakit karena ngotot menolak pemberian susu formula. Bagaimana cerita penuh derai air mata karena bersikukuh tak mau memberi susu formula meskipun orang terdekat di rumah terus menerus menuding ASI yang kurang sebagai penyebab bayinya kuning. Belum lagi cerita para ibu bekerja untuk selalu rutin memompa ASI di manapun ia berada demi mempertahankan stok ASI selalu tercukupi, dan lain sebagainya.

Dari situ saya mulai terbuka, ternyata memberikan ASI tidak semudah yang diduga, perlu diperjuangkan. Mulai dari dukungan orang terdekat, support yang kuat dari suami, dan kemauan yang ‘bandel’ dari ibu tentunya. Berdasarkan hasil baca-baca itu, saya pun jadi sering berdiskusi dengan si mas tentang hal ini, Alhamdulillah si mas sangat support, dia pun tak enggan membaca link-link postingan bagus yang saya temukan. Jadi ketika saya nemu postingn bagus, saya selalu kirimkan link-nya ke si mas untuk dibaca, begitu ada waktu ngobrol kita selalu mendiskusikannya.

Dalam perjalanan browsing-browsing, saya menemukan postingan penting yang akhirnya membuat saya tercekat, karena saya baru menyadari ternyata saya memiliki masalah yang serupa dengan cerita di postingan tersebut, yakni flat nipple (putting datar). Iya, sejak dahulu saya memang menyadari kondisi di salah satu bagian tubuh saya tersebut, PD saya yang sebelah kiri kondisinya flat nipple, namun saya tidak pernah menyangka bahwa hal itu dapat menyulitkan proses menyusui. Akhirnya saya pun semakin intens mempelajari bagaimana cara melakukan pelekatan menyusui yang benar, bagaimana menyiasati flat nipple agar bayi tetap mau menyusu, dan bagaimana membuat saya tetap percaya diri akan berhasil memberikan ASI eksklusif dengan lancar.

Perjalanan browsing saya berlanjut tentang khasiat ASI, kenapa harus ASI, kenapa tidak boleh susu formula, hingga mendownload video-video seminarnya Dr.Tiwi bertajuk “Breastfeeding 911” yang Alhamdulillah sangat sangat membantu.

Dan akhirnya, hari menyusui itu pun tiba. Beberapa menit setelah dilahirkan (aqueena lahir jam 23.30 malam), tentu saja Aqueena butuh asupan, namun tidak seperti cerita di blog-blog para ibu di luar sana yang pakai acara ngotot-ngototan antara ASI dan sufor, saat itu karena masih dalam kondisi sangat lemah usai melahirkan, saya memang mengizinkan aqueena untuk diberi sufor tengah malam itu, entahlah yang kufikirkan saat itu adalah saya ingin segera tidur, rasanya capeeeek sekali setelah seharian merasakan kontraksi dan seperti kehabisan energi setelah berjuang mengeluarkan bayi.

Esok harinya, saat aqueena sudah dimandikan dan mulai rooming-in (rawat gabung) dengan saya, barulah ASI pertama saya dihisap oleh aqueena, dengan penuh trial and error saya terus mencoba melakukan pelekatan yang benar, entah ada yang masuk ke perut atau tidak saya tidak peduli, asal aqueena melek langsung saya angkat dan saya susui, namun saat malam aqueena tidak bersama di kamar saya, maka diapun oleh perawat diberi sufor, it’s okay for me, saya memang tidak ngotot.

Setelah 2 hari di RS, kami pun pulang, dan perjuangan breastfeeding yang sebenarnya pun dimulai. Saat itu, aqueena mulai lancar menghisap ASI, otomatis produksi ASI pun semakin melimpah, akibatnya tentu saja pada PD kiri saya yang selama ini hampir tidak pernah berhasil dihisap oleh Aqueena membengkak karena isinya penuh dan tak segera dikeluarkan. Saya segera menghubungi sepupu yang saat itu masih menempuh sekolah kebidanan, atas sarannya saya disuruh membeli spet (suntikan) yang dipotong bagian atasnya untuk kemudian digunakan untuk menarik nipple yang posisinya masuk tersebut. Jangan ditanya rasanya, Ya Allaaaahh sakiiiiit banget. Dengan hati-hati Ayah Aqueena membantu saya melakukannya, saat saya menjerit, dia tampak khawatir sekali dan akhirnya berhenti. Begitu sampai berkali-kali.

Beberapa hari kemudian, saat kontrol ke dokter anak, saya mengkonsultasikan hal tersebut pada sang dokter, sarannya pun sama dengan yang disampaikan sepupu saya tempo hari, hingga akhirnya, karena merasa hampir putus asa dengan rasa sakit saat ditarik dengan spet itu, saya putuskan untuk menyerahkannya pada Aqueena, biar dia sendiri yang mencari cara menuju makanannya. Tanpa disangka dan diduga, ternyata justru dengan cara itu, aqueena malah bisa menghisap ASI saya, dengan posisi mulut yang dia pilih sendiri, dia pun berhasil mengeluarkan ASI dari PD kiri saya (meski diawali dengan dramatis alias nangis-nangis dulu), Alhamdulillah wa syukrulillaaaahh… Sampai suatu hari, salah seorang teman kantornya Ayah Aqueena datang berkunjung melihat bayi kami, saat itu dia juga sedang menyusui bayinya yang berusia 4 bulan. Ternyata dia punya masalah yang sama dengan saya, yaitu salah satu PDnya memiliki flat nipple, saat saya tanya bgaimana cara menyusuinya, dia bilang dia hanya menyusui dari satu PD saja. Wooww!!! Saya terkejut karena melihat bayinya yang sangat montok itu ternyata hanya disusui dengan satu PD. Dari situlah, saya sedikit demi sedikit menghindari ‘drama’ yang selama ini terjadi saat Aqueena kutawarin PD kiri. Iya, saya mulai berhenti menawari PD kiri saya pada Aqueena, dan merelakan ia hanya menyusu dari satu PD saja. Bismillaaaahh… semoga Allah mencukupkan ASI untuk anak saya. Allahul Kaafiy

Alhamdulillaaah… Aqueena tercukupi kebutuhan ASInya, dia tumbuh dengan baik, kenaikan berat badannya tidak ada yang kurang bahkan gemuk dan montok. Untuk mencukupi kebutuhan ASI Aqueena saat saya tinggal mengajar, ASI saya pompa secukupnya, kebetulan saya hanya mengajar 2 hari dalam seminggu, itupun hanya kurang lebih 3-4 jam dalam sehari. Makanya saya tidak ada tuntutan untuk menyetok ASI sebanyak-banyaknya, melainkan hanya secukupnya saja, paling hanya 2 x 50 ml untuk satu hari mengajar (3-4 jam), itu pun selalu masih tersisa banyak karena aqueena tidak terbiasa minum dengan dot. Saya sih tidak khawatir meskipun dia tidak mau minum ASInya, toh hanya sebentar saja saya meninggalkannya, insyaAllah tidak sampai kelaparan. (Hehehehe…)

Ohya, tanpa bermaksud apa-apa, saya punya cerita miris tentang kondisi per-ASI-an di lingkungan sekeliling saya. Jadi ceritanya, bersamaan dengan lahirnya Aqueena, tetangga di komplek perumahan saya juga banyak yang punya bayi baru lahir, kalau tidak salah ada 6 bayi yang sepantaran Aqueena, dan kebetulan hanya Aqueena yang anak ASI, selainnya semuanya minum sufor dengan tanpa dilatar belakangi pertimbangan medis apapun dan ibu-ibunya semuanya tidak bekerja di luar rumah. Terus terang saya sedih melihatnya, sebab di sisi lain, teman-teman kuliah saya baik saat S1 maupun S2 juga banyak yang punya bayi sepantaran Aqueena, dan mereka hampir semuanya adalah ibu bekerja namun dengan semangatnya berjuang sekuat tenaga memberikan ASI untuk bayi-bayi mereka.

Fenomena ini membuat saya semakin mengerti kenapa semakin banyak dan menjamur kelompok-kelompok pendukung ASI, baik dari ibu-ibu, ayah-ayah, para ikatan dokter anak dan bidan, karena memang pemahaman akan pentingnya ASI saat ini telah mengalami pergeseran yang luar biasa, banyak sekali yang tidak memahami bahwa sufor itu bukan pengganti ASI, karena ASI tak pernah tergantikan.

Saat Aqueena berumur 14 bulan, Aqueena sudah tidak banyak konsumsi ASInya, karena dia sudah mendapat banyak asupan lain di samping ASI yaitu nasi, selain itu juga dia sudah banyak menghabiskan waktunya untuk bermain sehingga jarang meminta nenen. Nah, karena permintaan menurun otomatis produksi pun mengikuti. Suatu hari, tepatnya setelah saya menghabiskan liburan semester selama 2 bulan, otomatis selama itu pula Aqueena tidak saya tinggal dan titipkan ke pegasuhnya karena saya tidak mengajar. Hari itu saya kembali mengajar, dan malam sebelumnya saya berusaha keras memompa ASI namun tidak berhasil, saya terus berusaha memompa tetap tak berhasil, ah mungkin karena baru saja diminum Aqueena, saya coba tinggal tidur dulu barangkali nanti tengah malam saat sudah lama diistirahatkan (tidak diminum) stoknya kembali banyak, namun usaha saya sia-sia, hanya SATU tetes saja yang berhasil keluar. Saya pun menyerah, yah sudahlah, gak usah dibawakan susu, toh palingan Aqueena nggak sampai kelaparan, kan dia pinter maemnya, begitu pikiran saya. Keesokan harinya, saat saya pulang mengajar dan mengambil Aqueena di rumah pengasuhnya, si pengasuh bertanya kenapa saya tidak membawakan susu dan hanya membawakan jus alpukat, dengan polosnya saya cerita kalau tadi malam saya gagal memerah ASI. Tanpa saya duga, sang pengasuh Aqueena yang selama ini kukenal tak banyak bicara ini berujar, “Kalo gitu ya dibelikan susu formula dong”, saat itu saya masih lempeng aja, “nggak ah bu, ASI yang terbaik”, eeeh dia melanjutkan “ya belikan susu formula yang bagus dan mahal lhoo, kan ada tuh yang merek ********, masa’ buat anak kok gak mau belikan susu”. Duaarrr!!! Emosi saya mendadak meletup, namun tak ada kata-kata yang keluar saking nggak menyangkanya akan ada kata-kata seperti itu yang keluar. Tanpa manjawab apapun, saya pamit pulang dalam kondisi ‘bertanduk’, bueeteeee….

Sambil jalan menuju rumah dengan hati bersungut-sungut, saya terus melakukan pembenaran dan pembelaan diri. Sesampainya di rumah, saya masih bete aja. Pegang hp, nulis status galau deh. Alhamdulillaaahh langsung bertubi-tubi bbm masuk memberikan support. Thanks ya, kawan-kawan… I love you all. Dan yang akhirnya bikin saya nggak bete lagi adalah kalimat suami “Kesel kok sama omongan orang yang nggak ngerti??!! yo nggak akan ada ujungnya, percuma!” makjlebb… hehehe…

Saat ini, Aqueena telah berusia 16 bulan, Alhamduliilaah masih ASI. Semoga bisa melanjutkannya sampai 2 tahun ya. Saat ini saya sedang rajin membaca postingan-postingan tentang cerita menyapih, untuk bekal menyapih aqueena nanti, agar tak ada acara drama nangis dan jejeritan, tak ada pahit-pahitan, tak ada drama traumatic untuk aqueena, karena kami ingin melakukannya dengan cinta. Iya, Weaning With Love (WWL). Semoga dimudahkan. Amin.

Last but not least, happy breastfeeding, Mom….