Cerita ini kumulai dari sejak
sebelum bulan Ramadhan tahun 2012 lalu. Saat itu, aku yang biasanya melepaskan
gundah soal pengen momongan kepada sahabatku Barir (yang juga sedang menantikan
hal yang sama), tiba-tiba mendapatkan kabar bahagia atas kehamilan sahabatku
tersebut. Aku sungguh ikut bahagia, mengingat curhatan kita setiap saat,
kegalauan saat mendapat pertanyaan-pertanyaan menyudutkan soal momongan dari
keluarga dan kerabat terdekat, beban-beban psikologis yang kami rasakan melihat
suami yang sudah sangat menginginkan punya anak, hingga tingkat sensitifitas
batin yang semakin tinggi seiring sikap-sikap suami yang tampak begitu care
dengan keponakan-keponakannya hingga diri sendiri merasa terabaikan dan tidak
berdaya.
Ikut bahagia sudah tentu, tapi
tak dapat dipungkiri bahwa rasa iri dan cemburu itu dengan halus menelusup
dalam hati. Iya, aku cemburu karena teman “securhatanku” terlebih dulu
diberikan kebahagiaan itu. Iya, aku cemburu karena teman “securhatanku” kuanggap
setelah ini akan menjadi tidak se-mengerti dulu dengan keadaan yang masih
kualami. Namun aku sangat bersyukur, ia adalah sahabat yang sebenar-benar
sahabat. Ia tidak meninggalkanku, justru ia mendorongku untuk tetap bersemangat
dan tidak berhenti berusaha.
Awal Ramadhan 2012
Ramadhan tahun ini, aku merasa
sangat beruntung karena Allah tidak membiarkan aku melewatkan salah satu
episode tausiyah Ustadz Yusuf Mansur. Saat itu, sang ustadz membuka hari
pertama bulan Ramadhan dengan menyerukan bahwa bulan ini adalah bulan bonus
bagi semua umat Islam, dan secara spesifik beliau menyerukan kepada para
jomblowan-jomblowati yang belum juga mendapatkan jodoh, kepada para pasangan
yang ingin punya anak, dst. Bahwa bulan ini adalah SAATNYA. Saat dimana kita
bersungguh-sungguh berdoa, ber-riyadhoh, bermunajat, meminta dengan segenap
kemampuan beribadah agar segera terkabul keinginannya. Fiuuhh…. Seolah mendapat
dorongan yang luar biasa, maka saat itu pula kuputuskan aku akan ber-riyadhoh
sekuat tenaga untuk meminta kepada-Nya.
Maka mulai hari pertama bulan
Ramadhan, aku pending doa-doa dan permintaan yang lain. Hanya doa minta anak,
anak, dan anak. Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan di setiap usai
sholat sunnat, lagi-lagi minta anak, anak, dan anak. Aku tidak mau
menyia-nyiakan bulan besar ini, karena aku yakin, bahwa inilah SAATNYA
meneroboskan doaku menuju ‘Arsy yang sedang dibuka selebar-lebarnya bagi
seluruh umat islam yang beribadah dan berdoa serta bertaubat.
Pertengahan Ramadhan
Aku lupa dalam rangka apa aku dan
suami main ke rumah sahabatku di Gresik, yang jelas saat itu bertepatan dengan
hari dimana sahabatku sedang ada jadwal periksa kandungan. Nah, dari sinilah
cerita bermula. Usai buka puasa bersama di rumahnya, aku dan sahabatku
berbisik-bisik merencanakan sesuatu, dan akhirnya dia sepakat untuk membujuk
suamiku untuk ikut serta ke dokter. Awalnya suami nggak mau, alasannya “mau
ngapain, bengong nungguin orang periksa”, sahabatku tak habis pikir, ia bilang “ya
dari pada diem di rumah, mending ikutan, nanti pas kita periksa, kalian bisa
jalan-jalan sambil wisata kuliner, kan di sekitar tempat praktek dokterku
banyak makanan enak-enak”. Akhirnya suami setuju. Yes!!
Memasuki tempat praktek dokter
Spog, ternyata suasananya tidak begitu ramai, mungkin karena bulan puasa dan
baru lepas Maghrib, jadi antreannya belum terlalu panjang. Nah, lagi-lagi
sahabatku menawari aku (tapi cuman pura-pura, soalnya emang dah rencana dari
awal) dan suami untuk ikut mengantre. Suami pun menolak, atau lebih tepatnya
tidak terlalu merespon. Sahabatku kembali membujuk, “Ayolah, iseng-iseng aja
periksa, mumpung gak antre”, akupun menimpali “Yuk say! Coba-coba..”. Setelah beberapa
saat lamanya, keluarlah kata sakti dari mulut suamiku “yo wes, sembarang” (ya
udah, terserah). Yes!! Kalo udah keluar kata ‘terserah’ itu artinya suamiku
setuju.
Setelah menunggu, tibalah giliran
kami. Kami ditanya sudah berapa lama menikah, sudah pernah ikut program hamil
di dokter kandungan sebelumnya atau belum, obat apa saja yang pernah dikonsumsi,
bagaimana siklus haid-ku, apakah selalu disertai nyeri haid, dst. Setelah itu
aku di-USG. Alhamdulillah menurut pantauan dokter kondisi rahimku sejauh ini baik.
Barulah setelah itu dokternya menjelaskan step-step yang harus dilalui. Mulai dari
si istri minum vitamin (asam folat), paling tidak selama 3 bulan, kemudian jika
belum hamil dilanjutkan minum obat penyubur 3 bulan, dan jika belum hamil juga
maka akan dilakukan HSG (USG vagina / USG dalam) yang akan dilihat apakah ada
penyumbatan yang mengharuskan dilakukan operasi atau tidak, dan step-step
selanjutnya yang akan bisa diusahakan bila belum kunjung hamil juga.
Setelah bicara tentang istri,
barulah untuk suami. Menurut pak dokter, kalo untuk suami simple aja, yang
pertama harus dilakukan tes analisis sperma. Katanya, dari situ akan dilihat
kondisi sperma suami sehat atau tidak, jika kurang sehat maka harus diterapi
hingga normal kembali. Sudah!! Yups, memang hanya itu saja stepnya, tidak
seperti step-nya istri yang ada banyak. Nah, malam itu juga dokter memberi
surat pengantar ke laboratorium untuk melakukan tes analisis sperma, dengan
dijelaskan aturan-aturannya sebelum melakukan tes tersebut (yaitu puasa ‘berhubungan’
beberapa hari sebelum tes).
Oke deh pak Dr.Maksum, Sp.Og.
makasih….