27 Oktober 2010

PEKERTI SANG KUNCEN SETIA


Lama sudah ku tak menulis, dan kini aku benar-benar ingin melakukannya, menggerakkan jemari di atas keyboard putih ini, mengayunkan pikiran merasakan dorongan besar yang ingin segera tertumpahkan. Aku sedih, hatiku pilu…


Berita wafatnya Sang Juru Kunci Gunung Merapi tempo hari cukup mengejutkan, Mbah Marijan yang namanya mulai tenar beberapa tahun silam saat merapi menggoda kita dengan bersinnya, saat dimana situasi dinyatakan waspada oleh Badan Vulkanologi, saat semua warga sekitar gunung teraktif di dunia itu diinstruksikan untuk segera meninggalkan kediaman menuju pengungsian. Tapi dia, dia si kuncen renta itu tak beranjak sedikitpun, bahkan hingga Rajanya sendiri yang memerintahkan sang abdi untuk segera turun gunung, tapi tetap saja ia bergeming, dengan satu alasan, iya hanya satu alasan “Merapi adalah amanah untukku


Srrr… berdesir darah ini mendengar satu kecap kalimat itu, bergejolak darah ini merasakan betapa kesetiaan seorang abdi terhadap apa yang telah diamanahkan kepadanya, kalimat itu tentu bukan buah dari kesadaran pribadi yang terbentuk secara instan, kalimat itu tentu bukan bentuk dari tanggung jawab yang telah dibayar dengan lembaran rupiah yang mahal. Kalimat itu adalah sebuah kalimat yang terlontar dari hati, hati seorang abdi yang begitu taat kepada padukanya, abdi yang begitu menjunjung amanah yang diembankan kepadanya, abdi yang meski hanya digaji dengan belasan ribu rupiah per bulannya, namun abdi ini adalah abdi negeri yang patut menjadi suri tauladan bagi abdi-abdi negara tercinta ini.


Siapapun layak berkaca terhadap sikap Kuncen renta yang kini telah menghadap haribaan-nya itu, baik kita, terlebih para wakil rakyat dan pemegang amanah rakyat di gedung terhormat sana. Wakil rakyat yang bisa duduk di kursi empuknya dari hasil urunan suara rakyat, pemegang amanah rakyat yang harusnya bertugas memikirkan dan memperbaiki negeri untuk kepentingan rakyat, pemimpin rakyat yang harusnya menomorsatukan rakyat yang meski sedari awal menjadikan rakyat sebagai bulan-bulanannya.


Tentu bukan karena besarnya gaji dari Raja yang membuat Mbah Marijan begitu setia dan teguh menjaga amanahnya, tentu bukan karena popularitas menjadi bintang iklan yang membuat Mbah Marijan rela bertukar nyawa, keteguhannya adalah karena ia tidak ingin masuk ke dalam golongan orang yang ‘idza ’tumina khoon’. Ya, ia tidak ingin menjadi orang yang mencederai kepercayaan (amanah).


Lantas, bagaimana dengan gaji besar, popularitas meroket, dan citra (body lotion?? Ups! Tentu bukan, tapi political & individual image) yang sudah dan terus diusahakan tetap berkibar itu? Tidakkah sudah sangat cukup bagi anda-anda sekalian untuk menyadari bahwa itu semua bukanlah cuma-cuma? Demi Tuhan, itu semua harus dibayar, Paduka! Tidak perlu kontak kok, kami beri waktu lima tahun untuk dilunasi…


Oooh, betapa pilu hati ini, mendapati bahwa para pemegang amanah yang telah kami beri kredit berupa gaji besar, popularitas tinggi dan citra yang baik itu justru sibuk berpesta di kursi empuknya, berantem di gedung, mengemplang pajak, membungkus erat para tikus pengerat, kolusi, nepotisme, mengkrikiti (bahasa jawa tuh, buat yang kagak ngarti cari sendiri artinya) uang rakyat, mendesain gedung baru nan mahal, plesir ke negeri antah berantah (bahkan kabar terbaru ada yang karena takut kena demo, eh plesir ke Yunani berangkat jam 2 malam lho, Astaghfirullah…). Lantas, ada juga yang kerjaannya mewek dan sok terharu plus sok terdzalimi, belum lagi yang hampir tiap hari sibuk dengan citranya yang sedikitpun tak boleh menurun (owalah kenapa gak dibeli aja tuh pabrik citra body lotion, hmm…).


Tidakkah kalian sadar bahwa kalian adalah pemimpin, pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawabannya? Oh Tuhan, bagaimanakah cara menegur pemimpin kami yang tak juga tersentil dengan berbagai sindiran dan kritikan itu?


Allahummaqsimlanâ min khasyatika mâ tahûlu bihî baynanâ wa bayna ma’shiyatik, wa min thâ’atika mâ tuballighunâ bihî jannatak, wa minal yaqîn mâ tuhawwinu bihî ‘alaynâ mashâi’bad dunyâ, wa matti’nâ bi a’smâ’inâ wa a’bshârinâ wa quwwatinâ mâ a’hyaytanâ, waj’al dzâlika khayrân lanâ, waj’al tsa’ranâ ‘alâ man zhalamanâ, wanshurnâ ‘alâ man ‘âdânâ, wa lâ taj’al mushîbatanâ fî dîninâ, wa lâ taj’alid dunyâ ‘akbara hamminâ wa lâ mablagha ‘ilminâ, wa lâ tusallith ‘alaynâ man lâ yakhâfuka wa lâ yarhamunâ. Wa shallalahu ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.

(Ya Allah, anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dan kedurhakaan kepada-Mu, dan anugerahi kami ketaatan yang mengantar kami ke surga-Mu serta limpahkan kepada kami keyakinan yang dapat meringankan petaka duniawi yang kami pikul. Anugerahilah kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama hidup kami. Jadikan semua itu kebaikan buat kami, dan jadikan pembalasan-Mu terhadap orang-orang yang menganiaya kami. Ya Allah, menangkan kami menghadapi siapa yang memusuhi kami dan jangan Engkau jatuhkan petaka ukhrawi menimpa kami, jangan juga ya Allah, Engkau jadikan dunia perhatian terbesar kami serta batas pengetahuan kami. Ya Allah, jangan Engkau jadikan penguasa kami, orang-orang yang tidak takut kepada-Mu lagi tidak mengasihi kami.) Wa shallalâhu ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.