20 Januari 2010

Ayahku (juga) Ayah Juara Satu Seluruh Dunia


Rabu, 30 Desember 2009, tak kusangka di hari itu menjadi hari di mana aku tergerak kembali untuk menulis setelah beberapa lamanya aku tak mampu melakukannya. Hari itu aku sengaja pergi ke kampus untuk mengumpulkan tugas kuliahku, kemudian melanjutkannya dengan menonton film Sang Pemimpi (sekuel film Laskar Pelangi), film yang didedikasikan setinggi-tingginya oleh si pemilik cerita (Andrea Hirata) kepada Ayahnya, Ayah juara satu seluruh dunia.

Dari film itu, hanya ada satu tanggapan yang ingin kukeluarkan dari mulutku, ”Ayahku juga Ayah juara satu seluruh dunia”. Meski aku tak sempat lama mengenalnya, tetaplah beliau Ayah paling juara. Meski Ayahku tak pernah mengambilkan rapor sekolah untukku, tetaplah beliau yang paling juara. Meski Ayahku tak pernah mengantarkan kepergianku ke perantauan untuk menuntut ilmu, tetaplah beliau Ayah paling juara. Iya, juara satu seluruh dunia.

Aku masih belum genap berusia 8 tahun saat aku menyaksikan kesibukan Ibu tidak seperti biasa. Ibu yang biasanya setia menemaniku dan saudara-saudariku di rumah, menyiapkan keperluan sekolah, menemani mengerjakan PR sekolah, dan mengejar-ngejarku yang sering enggan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Tapi saat itu semua pekerjaan Ibu itu dipindah tangan oleh bulekku yang tidak lain adalah adik kandung Ibuku.

Setiap aku bangun pagi, tak kulihat lagi Ibuku hingga aku tertidur lagi di malam harinya. Ibu menghabiskan waktu menemani Ayah di Rumah Sakit selama berminggu-minggu. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ayahku, yang jelas aku masih ingat saat hari Minggu aku dan saudara-saudariku pernah diantar oleh Bulekku menemui Ayah, di sebuah kamar rumah sakit yang dihuni oleh tiga orang pasien yang salah satunya adalah Ayah.

Aku masih ingat, saat itu aku masuk ke dalam kamar itu dan segera berhambur memeluk Ayah yang sama sekali tak kulihat sedang sakit, karena selain tubuhnya yang tampak lebih kurus dari sebelumnya aku tak melihat tanda-tanda lain layaknya orang yang sedang sakit selain senyumnya yang sangat kurindukan. Ia membentangkan kedua tangannya menantiku yang sedang berlari kearah pelukannya.

Diciumnya kepalaku sangat dalam, aku tak tau apa yang sedang dirasakannya. Yang jelas aku bahagia karena bisa memeluk Ayahku meski sempat pula aku heran mengapa aku yang sedang diliputi bahagia saat itu justru kulihat Bulekku menangis sejadi-jadinya menyaksikan apa yang kami lakukan.

Setelah beberapa saat aku dalam pelukan Ayah di atas tempat tidurnya, Ibu menghampiri kami kemudian menggendong dan membawaku ke dalam pelukannya. Dalam pelukan Ibu, aku melihat saudara-saudariku secara bergantian dipeluk Ayah dan lagi-lagi Bulek menangis menyaksikannya.

Dalam kesempatan itu, aku sempat bertanya kepada Ayah kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah tidur di rumah lagi? “Kan adek kangen, Yah…” aku merengek kepada Ayah dan Ibuku di sana.
Aku masih ingat betul Ayah menjawab pertanyaanku “Iya, bentar lagi Ayah dan Ibu pulang kok”. Aku bahagia sekali mendengarnya, apalagi kusaksikan Ayah tersenyum kepadaku.

Beberapa saat berselang, saat aku manikmati jeruk yang disuapkan oleh Ayah, kami melihat salah seorang pasien di kamar itu sedang diperiksa oleh seorang dokter wanita berjilbab. Dari jauh aku memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh dokter anggun itu kepada pasiennya. Tampaknya Ayah senang melihatku memberi perhatian atas apa yang dilakukan oleh dokter muslimah itu.

Adek, mau nggak jadi dokter?” Tanya Ayah membuyarkan konsentrasiku.
Mau, adek mau, Ayah!” jawabku bersemangat.
Iya, ntar kalau adek udah gede, adek jadi dokter ya! Kayak Bu Dokter itu, pinter, baik, dan pakai jilbab
Iya, Ayah. adek mau ntar jadi dokter kayak Bu Dokter itu, cantik, trus bisa nolongin orang, iya kan, Yah?
Iya, Sayang…

Aku merasa sangat tenteram mendengar ucapan Ayah. Ucapan Ayah yang akhirnya menjadi kalimat terakhir yang mampu kuingat dari Ayah yang sangat kucintai itu. Janji Ayah untuk segera kembali pulang ke rumah dipenuhinya, tapi tidak untuk menemani tidurku lagi, karena beberapa hari berselang dari hari itu, Ayah kembali pulang ke rumah diantar mobil jenazah.

Semua orang bersedih, menangis terlebih saat melihatku yang saat itu masih sangat kecil untuk menjalani hidup sebagai anak yatim. Saat itu memang aku tidak menangis karena aku belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Tapi, saat aku sudah beranjak besar dan dewasa, barulah kurasakan rindu yang amat mendalam kepada Ayah yang tak sempat dekat kukenal itu. Ayah…

Januari, 2010
Tahun ini, adalah tahun ke-17 kami hidup tanpa ayah, ayah yang wajahnya hanya bisa kulihat dari lukisan besar yang dipajang di kamar Kakak sulungku, ayah yang kehadirannya selalu kurasakan terlebih saat menyambangi rumah abadinya.

Ayah... tahun ini usiaku sudah 25, ayah ’di sana’ pasti ngikutin kan semua perkembanganku? Ayah, di usiaku yang akan bertambah bulan depan, aku ingin cerita banyak hal sama ayah, tentang kuliahku, tentang teman-temanku, tentang kekasihku, dan semuanya. Ayah pasti seneng deh!

Ayah... Tahun ini, kita ulang tahunnya deketan lho! Beda cuman 6 hari, tapi aku janji deh ntar aku khataman sendirian 30 juz, khusus buat kita berdua. Setuju?!

I Love you, Dad!

(maaf, nggak bisa nulis lebih banyak, udah nggak kuat nahan air mata)