18 Oktober 2009

Ketika Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Mengerat

Hhh…Tarik nafas dulu ya sebelum menulis, karena sebetulnya berat bagiku untuk menuliskannya, atau lebih tepatnya dilematis. Apa yang ingin kutulis ini sebuah fenomena yang diaklamasikan oleh semua orang sebagai tindakan yang tidak terpuji, tak terkecuali aku sendiri, tapi pandanganku kini menjadi sedikit berbeda, karena….” (nanti ya lanjutannya)

Indonesia, bukan rahasia lagi tingkat korupsinya di mata dunia Internasional. Mulai dari unit pemerintahan terendah hingga tertinggi, baik BUMN maupun swasta, bahkan di lingkup para penegak hukum pun berkali-kali terungkap. Hina, sungguh perbuatan tak berperikemanusiaan, di tengah jutaan rakyat Indonesia yang bahkan mungkin tinggal ‘oksigen untuk bernafas’ saja kebutuhan primer yang bisa mereka penuhi setiap hari, sebab kebutuhan 3 kebutuhan primer yang dulu sering diajarkan oleh Guru kita saat sekolah dasar; Sandang, Pangan, dan Papan sudah menjadi hal yang tak utama lagi.

Terhadap perilaku kejam ini, siapa yang tak ingin mengutuk?
Bahkan kemungkinan besar para pelaku korupsi sendiri menyadari betapa tidak terpujinya perilaku korupsi itu. Inilah yang sulit dimengerti, pada dasarnya para pejabat itu tahu betul dampak korupsi secara luas, tapi mengapa mareka masih banyak yang tidak menjaga dirinya untuk berlaku jujur dan bersih.

Jadi teringat teori Disonansi Kognitif (Festinger, 1957) yang menjelaskan inkonsistensi antara suatu keadaan atau perilaku dengan apa yang selama ini dipahami baik secara individual maupun kolektif.Yah, sepertinya inkonsistensi antara sikap dan perilaku dalam tindakan korupsi ini bisa menjadi fatal jika individu tidak menyadari, apalagi sampai melakukan rasionalisasi sebagai self defense mechanism-nya, bisa-bisa makin menjadi dan tak memunculkan perasaan bersalah. Padahal guilty feeling itu meskipun sebuah bentuk emosi negatif, tapi keberadaannya dianggap cukup baik mengingat perasaan itu sendiri muncul ketika seseorang mengevaluasi pikiran, perasaan dan tindakan(Tangney & Fischer, 1995). Paling tidak dari perasaan itu individu berpotensi sadar dan memperbaiki kesalahannya.

Sebesar apapun kehinaan tindak korupsi, tetapi pernahkah kita berfikir apabila kita berada dalam situasi dimana orang terdekat kita divonis bersalah atas sebuah kasus korupsi dan harus segera dieksekusi? Pastilah tidak mudah, meskipun kita termasuk orang yang menyalahkan perilaku korupsi. Barangkali situasi itu yang saat ini sedang kualami, dan lagi-lagi ingin rasanya sekuat tenaga menyangkal kenyataan ini, tapi apalah daya, toh kenyataannya uang hak rakyat itu memang pernah mampir di dompetnya.

Senin 12 Oktober 2009, bukan hanya menjadi hari diumumkannya identitas korban mati dalam penggerebekan sarang Teroris di Ciputat, sebab di hari yang sama, dan masih di belahan bumi yang sama, 11 mantan anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo dijebloskan ke dalam penjara atas kasus korupsi massal dana APBD senilai Rp 20 miliar. Satu diantara mereka adalah orang tuaku semasa duduk di Sekolah Dasar. Iya, beliau adalah guru sekaligus kepala sekolahku.

Bahkan untuk bereaksi pun aku bingung. Sedih, prihatin, kasihan, tidak tega, bercampur menjadi satu, tapi tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali jika hari ini aku bertemu muka dengan beliau, aku memilih untuk tidak berbicara apapun, dan pergi dengan tubuh lunglai menahan tangis. Aku jadi teringat cerita pamanku di Jakarta, bagaimana saat beliau bertemu dengan mantan Menteri Agama KH. Said Agil Al-Munawwar untuk pertama kali setelah keluar dari penjara atas kasus korupsi Departemen Agama beberapa tahun silam. Siapa yang tak miris, guru bahkan ustadz yang sepanjang masa akan kita kenang jasanya harus menjadi seorang pesakitan di balik jeruji besi.

Tapi jika aku diizinkan berpendapat, jujur dari hati yang paling dalam, sampai sekarang pun aku tak percaya jika beliau melakukan tindakan itu secara sadar, dan terencana. Aku lebih nyaman ketika mempercayai bahwa Ayahanda guruku itu hanya menerima jatah pembagian ‘kue kenduri’ dari sebuah tindakan korupsi yang dilakukan oleh atasannya yang telah terlebih dahulu mendekam di hotel prodeo, sama sekali tidak menyumbang otak apalagi ikut berstrategi atas tindakan hina itu.

Jika sikapku itu masih kurang tepat, maka aku memilih pembelaan yang selanjutnya, yaitu apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. bahwa yang pantas kita hina dan rendahkan adalah sebatas pada perilakunya, bukan orangnya, karena bagaimanapun pelakunya tetap harus dihormati sebagai individu sama seperti yang lain.

Terdengar sangat naif memang pembelaanku, tapi entahlah, aku bingung dalam menentukan sikap, yang jelas aku hanya ingin menjadi murid yang hormat kepada guru sejak dulu, kini dan nanti. selamanya, tak kan berubah, dan tak kan pernah ingin mengubahnya.

13 Oktober 2009

Teroris di Ciputat, Sebuah Elegi; Antara Aku, Mereka, dan Kampusku

Lagi, penggerebekan sarang teroris terjadi, Jum’at 9 Oktober 2009 media kembali beramai-ramai memberitakan secara eksklusif penggerebekan sarang teroris yang diduga adalah dua orang yang selama ini masauk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Aku yang siang itu baru datang dari luar rumah serasa tak hendak beranjak dari depan layar kaca, bukan hanya karena beritanya tentang teroris, tapi juga (atau lebih tepatnya, lebih karena) TKPnya; Jalan Semanggi Cempaka Putih Ciputat Tangerang Banten.

Jika di pertengahan pemberitaan aku mengganti status Facebook dengan kalimat “Gokil, tempat maen gue ternyata juga dipake Teroris maenan petak umpet”, barangkali memang demikianlah deskripsi paling mengena dalam mengggambarkan kedekatanku dengan TKP. Jadi keterikatan yang sangat dekat itulah yang memintaku untuk stay tuned.

Menit demi menit berlalu, berita yang dikabarkan semakin berkembang, dari nama korban penggerebekan, nama pengelola kost, pemilik kamar no.15 hingga para penghuni rumah kost tersebut. Para pengguna facebook tak kalah heboh, bagaimana tidak, 40 % teman facebookku adalah teman-teman UIN Ciputat, sampai-sampai heboh pula masalah tentang kakak kelas kami yang diinterogasi oleh Densus 88 dan diliput oleh sebuah media online.

Saat hari mulai petang, Kabid Humas POLRI memberikan statement kepada halayak mengenai kejadian siang itu, tapi alih-alih merilis nama korban tewas, yang keluar justru sebuah inisial nama yang disebut-sebut sebagai kurir sang gembong teroris dan telah ditangkap sebelum penggerebekan itu terjadi.

Senin 12 Oktober 2009, berita yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga, setelah menjalani serangkaian tes DVI dan DNA dipastikan bahwa korban tewas dalam penggerebekan hari Jum’at adalah Syaifudin Zuhri/Jaelani dan M.Syahrir, dua gembong teroris otak pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Tidak berhenti sampai di sini, Sony sang pemilik kamar no.15 pun dipastikan adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Deg! Jantungku berdegup kencang, seolah tak percaya sebab dari awal aku tak ingin mempercayai berbagai spekulasi yang bergulir.

Kejutan belum berhenti, hingga diumumkan identitas Fajar yang dari awal telah dikatakan sebagai kurir bagi SJ dan MS, Fajar Firdaus alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Psikologi. Plak!! Wajahku serasa ditampar sekencang-kencangnya mendengar berita itu, terlebih setelah beberapa waktu kemudian kusadari bahwa aku sangat mengenalnya. Hanya satu kalimat yang selalu kugumamkan saat foto-fotonya mulai beredar di layar kaca, “Nggak mungkin” (sebuah ungkapan denial tentunya).

Apa yang sebenarnya terjadi pada teman-teman UINku? Pikiranku mulai menerawang, mencoba memahami apa yang tengah terjadi. Jika mahasiswa/alumni UIN Jakarta memiliki segudang prestasi, itu biasa. Jika mahasiswa/alumni UIN Jakarta memiliki pemikiran nyeleneh bahkan cenderung liberal, itu bukan hal baru. Jika mahasiswa/alumni UIN berada di baris terdepan sebuah demonstrasi menyarakan suara rakyat, itu sudah sejak dulu. Jika mahasiswa/alumni UIN tertangkap karena kasus narkoba, itupun sudah pernah ada. Tapi ini, ini sungguh memprihatinkan.

Aku mencoba terus menganalisa, seperti apa pribadi dua orang mahasiswa dan alumni UIN ini? Mahasiswa dari fakultas ilmu umum (lih: bukan ilmu agama) sering diidentifikasi sebagai mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang lebih manakala disuguhkan dengan hal-hal yang selama ini tak didapatinya (yang berbau agama), taruhlah jika kita perhatikan teman-teman lembaga dakwah kampus yang didominasi oleh mahasiswa/i lulusan SMA (bukan Madrasah Aliyah atau bahkan pesantren, pen.), selain itu bisa dipastikan organisasi ini tampak lebih subur ketika tumbuh di fakultas ilmu umum, bandingkan pertumbuhannya antara di fakultas Sain Teknologi atau Psikologi dengan di fakultas Syariah atau Ushuluddin. Fenomena ini sangat terbaca di lingkungan UIN Jakarta yang semenjak berubah menjadi Universitas tidak lagi menjadi kampusnya anak pesantren, akan tetapi telah berbagi porsi secara seimbang dengan anak-anak lulusan SMA.

Jika melihat nama Universitas yang menaungi berbagai fakultas-fakultas tersebut, seolah membuat orang lain tidak mau tau bagaimana keragaman latar belakang mahasiswa di sana, yang mereka tau bahwa UIN Jakarta adalah Universitas Islam yang tentunya diekspektasikan secara berbeda oleh orang kebanyakan terutama dalam penguatan ajaran Islamnya. Tidak salah memang, di UIN semua fakultas diajarkan Bahasa Arab, Tafsir-Hadits, Akhlak Tasawuf dan lain sebagainya sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) tapi toh hal itu tidak menjadi jaminan bagi mahasiswa/alumni akan menjadi seorang ahli Tafsir maupun Tasawuf.

Ada fenomena yang cukup menarik, manakala mahasiswa berlatar belakang umum (sekali lagi, bukan agama, pen.) tampak memiliki ketertarikan yang lebih besar terhadap pengkajian agama yang di kampus biasa disajikan dan dikemas dengan cara se-mahasiswa mungkin, artinya dengan cara diskusi, tanya jawab, bedah buku-buku agama kontemporer. Bagi mereka, menemukan hal baru dalam bidang spiritual yang melalui proses yang logis dan aplikatif adalah kebutuhan yang selama ini tak ditemukannya di bangku SMA. Menelisik hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang dipilah menjadi D-need (deficiency need) dan B-need (being need) atau biasa disebut dengan kebutuhan Meta, atau lebih familiar lagi adalah Self-Actualization (Aktualisasi Diri)., maka apa yang dicapai oleh mahasiswa-mahasiswa kelompok ini adalah kebutuhan di atasnya B-Need, dimana tahap aktualisasi diri sendiri bukanlah tahap yang hanya akan dicapai oleh pribadi-pribadi yang secara kasat mata telah mapan lahir dan batin, aktualisasi diri masing-masing orang memiliki kadarnya sendiri-sendiri, sebagaimana kadar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di bawahnya (Physiologic, Safety, Belonging and Love, Self Esteem) yang juga berbeda porsi antara satu orang dengan yang lainnya.

Setelah mencapai tahap aktualisasi diri, ada satu fase lagi di atasnya yakni Transendensi, dalam fase ini sisi spiritual seseorang lah yang membutuhkan pemenuhan, dimana kebutuhannya akan sesuatu ‘hal’ di luar dirinya diharapkan bisa menutupi ‘kehampaan diri’ yang dirasakannya. Pemenuhan kebutuhan ini lebih bersifat sangat pribadi, hanya antara individu dengan ‘dzat’ di luar dirinya, yang mana kesempurnaan dari transendensi ini akan mengantarkan seseorang pada Peak Experience, sebuah pengalaman puncak yang bersifat spiritual yang hanya akan dicapai setelah melalui serangkaian proses yang sangat terjal dan membutuhkan tingkat pengorbanan yang sangat tinggi.

Barangkali inilah kemudian yang disasar oleh oknum-oknum pencuci otak dalam merekrut anggota ‘jihad’ versi mereka, termasuk dalam menyiapkan para suicide bomber, dengan segala nilai perjuangan yang terkandung di dalamnya yang kesemuanya adalah versi yang mereka buat sendiri sebagai pembenaran atas langkah yang mereka jalani. Menyoal rekrut-merekrut ini sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya di tahun 2006/2007 UIN dihebohkan dengan banyaknya mahasiswa yang menjadi korban perekrutan sebuah aliran keagamaan dengan ajaran Islam yang telah mereka modifikasi sesuka hati, dengan penggunaan dalil ayat-ayat Alquran yang asal comot sini comot sana tanpa prosedur yang jelas dengan tujuan sekuat mungkin landasan ajaran yang diberikan dan agar tampak lebih masuk akal dan berdasar (dua hal yang harus dipenuhi ketika berbicara dengan pelajar level mahasiswa). Ketika itu banyak teman kami yang menjadi korbannya, sampai-sampai ada yang telah mengeluarkan uang untuk kelompok tersebut dengan mengatasnamakan loyalitas, meski tak sampai terjadi penculikan seperti yang dialami oleh seorang mahasiswa ITB 2 tahun silam.

Di balik semuanya, hanya mampu berharap kedua teman kami terbukti tidak memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kejadian terorisme yang hina itu, dan semoga tak ada lagi terror-teror lain yang menghantui persada tercinta.

Rabbi ij’al haadzaa baladaan aaminan warzuq ahlahu minats tsamaraati man aamana minhum billahi wal yaumil aakhir... (Al-Baqarah: 126)

4 Oktober 2009

Santun dalam Doa

“Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini agar diterima kerja di perusahaan itu”,” Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini agar berjodoh dengan dia”.
Kalimat-kalimat doa tersebut tentulah sudah menjadi bagian dari doa-doa yang sering kita panjatkan ke hadirat-Nya, lantas saat kita tidak berhasil mendapatkan sesuatu sebagaimana apa yang kita inginkan dan mohonkan --kepada Allah agar dikabulkan—kita pun merasakan kekecewaan yang teramat sangat hingga menganggap Allah mengingkari janji-Nya sebagai Sang Penjawab segala doa hamba-Nya. Tidak hanya itu, saat apa yang kita inginkan akhirnya terraih yang namun kemudian ternyata berlanjut tidak sesuai dengan yang kita canangkan, kita pun mengeluh dan kecewa.

Saat sedang berdoa, tentulah kita sangat berharap bahwa apa yang kita mohonkan dapat terkabul persis sebagaimana yang kita harapkan. Tidak ada yang salah memang, sebab kita memang seyogyanya berbaik sangka terhadap Allah karena Allah berlaku sebagaimana apa yang disangkakan oleh hamba-Nya. Namun ada satu hal yang sering tidak kita sadari, bahwa dalam untaian-untaian doa itu sering kita mendikte Allah dengan keinginan-keinginan duniawi kita yang begitu beragam dan ‘sayangnya’ selalu kita anggap sebagai hal yang benar-benar terbaik dan kita butuhkan.

Kita sering lupa, bahwa bahkan mengenai diri kita sendiri pun Allah lebih mengetahuinya, lantas mengapa kita masih sering menganggap bahwa hanya diri kita sendirilah yang tahu akan diri kita. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Pengetahuan Allah akan hamba-Nya meliputi segala sesuatu, oleh karenanyalah Allah yang paling tahu apa yang terbaik dan yang paling dibutuhkan oleh hamba-Nya.

Itulah sebabnya, Nabi Allah Musa Alaihissalam memberikan tauladan di dalam doanya, saat beliau sedang dalam pelarian dari Mesir tempatnya selama ini hidup karena ancaman raja Fir’aun. Usai membantu dua gadis kakak beradik untuk memberi minum pada hewan ternak mereka, beliau berdoa, Rabbi inni limaa anzalta ilayya min khairin faqiir (QS.Al-Qashash: 24), Ya Tuhan, anugerahkan kepada hamba suatu kebaikan yang hamba fakir atasnya. Saat itulah Allah yang maha mengetahui segala sesuatu berkenaan dengan hamba-Nya mempertemukan beliau dengan keluarga Nabi Syu’aib yang kemudian memberinya pekerjaan dan juga seorang puteri cantik nan shalihah sebagai istrinya.

Dalam doa nabi Musa, tidak kita dapati satu pun kalimat spesifik dari bentuk anugerah-anugerah besar yang Allah berikan sebagai jawaban, namun atas kemaha Bijaksanaan Allah diberikanlah anugerah kepada nabi Musa sebagaimana yang dipanjatkan dalam doanya, yakni sesuatu yang ia butuhkan, dan tentu saja Allah dengan kemahaan-Nya dalam Mengetahui menurunkan anugerah yang diketahui-Nya sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan yang terbaik bagi Nabi Allah Musa Alaihissalam.