18 Januari 2008

Tepis Hari yang Sedih, Rengkuh Gemilang Pagi Hari

Kutatap langit
Tak kutemukan
Kuarahkan pandangan
Tak mampu kudapatkan
Kutengok ke belakang
Tak jua tampak


Memang…
Tlah kulewati tahunku dengan prestasi yang tak membahana
Tlah kuhempaskan nafas dengan tanpa mutiara sebagai hasilnya
Tlah kututup bukuku dengan warna sederhana

Layakkah aku meratap?
Layakkah aku meronta ingin kembali?
Layakkah aku mengutuk diri?
Layakkah aku diam lumpuh, sementara kaki masih harus terus melangkah?
Layakkah aku berhenti dan memejamkan mata, sementara nafas ini masih harus dipacu?
Layakkah aku…?

Tuhan…
Izinkan aku terus memupuk iman ini…
Izinkan aku menjadi insanMU yang bisa membuat dunia ini tersenyum
Izinkan aku merengkuh kebahagiaan yang sempurna

Tentu, wahai Tuhan…
Bukan PR yang mudah bagi insanMU yang kerdil ini
Bukan janji yang ringan bagi sahayaMU yang tanpa daya ini

Namun…
KebesertaanMU adalah kekuatanku
Kasih sayangMU adalah nyawaku
RidloMU
adalah penyempurna semua ikhtiyar ini

Gegap gempita pembuka tahun baru dikumandang-siarkan di seluruh penjuru bumi, sorak sorai makhluk bumi menyambut pergantian tahun yang tak pernah mengenal sepi. Ibu Kota bergemuruh tawarkan berjuta keindahan pesta yang semua orang ingin menjadi saksi atas kemewahannya. TMII, Monas, Ancol, dibanjiri manusia dengan tujuan yang sama meski bukan atas perintah komandan yang sama.

Aku diam, hendakkah aku menyatukan diriku di tengah kebahagiaan manusia seisi bumi ini? Hendakkah aku turut meneriakkan mundur deretan angka menuju detik bergantinya tahun? Hendakkah aku menenggelamkan diri ke dalam lautan manusia yang telah siap meniupkan terompet layaknya proklamator pergantian tahun?

Iya, aku memang melakukan sesuatu, aku memang haru ikut bersibuk ria di malam yang tak berlangsung tiap hari itu, aku memang hendak turut berteriak di malam yang semua orang tak pernah akan lupa akan kedatangannya itu. Namun, kudapati aku yang berlumur dosa dan berkecambah nista ini, merasa begitu tidak pantasnya jika setelah melewati malam ini aku mematut wajah di depan cermin masih dengan wajah yang sama dengan kemarin. Dan begitu malunya diri ini jika sampai embun sebelum cahaya yang kusentuh di hari pertama tahun yang baru ini mendapati aku dengan pakaian dosa yang tak sempat kubersihkan di penutup malam ini.

Nas'aluKA Yaa Man Huwa Allohu Alladzii laa ilaaha illa Huwa
ArRohmaan, ArRohiim, AlMalik, AlQudduus, AsSalaam, AlMu'min, AlMuhaimin, Al'Aziiz, AlJabbaar………………

Kuterbenam di antara lautan hamba Alloh yang memadati area komplek Masjid AtTiin TMII. Bersama Ustadz Arifin Ilham, kami mencoba meruntut rangkaian butir-butir dosa sepanjang usia yang telah dikenyam, mengalunkan dzikir dan tasbih mengagungkan namaNYA, memuhasabah-i diri atas kekhilafan yang harus segera dimohonkan ampun atasnya, menumpahkan air mata penyesalan atas semua kedzaliman terhadap Sang Pemilik Nirwana, meneguhkan hati atas sebuah pertaubatan sempurna demi menggapai RidloNYA.

Terbuai dalam jernih embun tetesan Cinta
Terkulai dalam kemanjaan Kasih dan MaghfirahNYA
Kubersujud memohon diampuninya diri atas lumpur dosa yang terlah diperbuat
Kujatuhkan diri serendah-rendahnya karena aku memang tak mampu tegak di hadiratMU
Tangisku meledak
Ratapku mengisak

Alloh…..
Beri aku kesempatan tuk abdikan diri, jiwa dan cinta ini hanya untukMU,
untuk kesempurnaan penghambaan kepadaMU
Beri aku kesempatan terus berjalan dan menatap masa depan dengan senyum dan cinta terindahMU.

17 Januari 2008

SANDARAN HATI


Yakinkah ku berdiri di hampa tanpa tepi bolehkah aku mendengar-Mu

Terkubur dalam emosi tak bisa bersembunyi aku dan nafasku merindukan-Mu
Terpurukku di sini teraniaya sepi dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku kesendirianku

Teringatku teringat pada janji-Mu kuterikat
Hanya sekejap kuberdiri ku lakukan sepenuh hati

Tak peduli ku tak peduli siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti jika Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau benarkah ini jalan-Mu hanyalah Engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku bimbing langkah kakiku aku hilang arah tanpa hadir-Mu
Dalam gelapnya malam hariku

Saat kali pertamanya saya secara tidak sengaja mendengar lagu ini terlantun apik dari Winamp di PC salah seorang teman di rumah kostnya, terus terang saya tersentak kaget dan seolah dipaksa untuk kembali mendengarkannya untuk kedua kali. Segera saya menanyakan soal siapa pelantun lagu tersebut yang kemudian saya ketahui bahwa lagu tang berjudul Sandaran Hati itu adalah lagu yang dipopulerkan oleh sebuah Group Band yang baru saja ikut meramaikan kancah perindustrian musik di Indonesia, Letto. Dari situ saya hanya bisa berdecak kagum terhadap pengarang lagu serta penulis lirik yang saya anggap cukup menyita perhatian saya. Melihat ketertarikan saya yang besar terhadap lagu itu, maka teman saya tersebut menyodorkan selembar kertas bertulskan lirik lagu indah itu secara lengkap yang sempat dia tulis meski masih berantakan.

Benarlah dugaan saya, bahwa lagu itu tidak hanya sekedar syair-syair biasa yang dilantunkan oleh seorang Vokalis group band, namun lebih dari itu, bait-bait indah itu menyimpan makna yang sungguh mempesona ketika coba untuk didefinisikan.

Sebuah nyanyian hati seorang hamba yang memiliki kesadaran yang sungguh luar biasa atas kekerdilan dirinya di hadapan Sang Ilahi, yang dengan kepasrahan penuh sengaja ia gantungkan segala ketidakberdayaannya sebagai sahaya Tuhan sehingga menumbuhsuburkan keikhlasannya atas skenario besar yang dimainkan oleh Sang Maha Segala terhadap dirinya. Hingga pada titik puncak penyerahan jiwa dan raganya lenyaplah segala kekhawatiran akan kesendirian hidup, kesepian ruhani, maupun kekosongan naluri, sebab keyakinan akan kebesertaan Allah dalam setiap helaan nafasnya adalah pilar untuk terus maju menapaki hidup dengan bertopang pada Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Sandaran Hatinya, hingga tiada lagi kesedihan ataupun bahkan keterpurukan yang tak lain adalah scenario Sang Maha Perkasa yang praktis merupakan media pembelajaran hidup menuju insan yang diridloi.
(Yakinkah ku berdiri di hampa tanpa tepi bolehkah aku mendengar-Mu
Terkubur dalam emosi tak bisa bersembunyi aku dan nafasku merindukan-Mu
Terpurukku di sini teraniaya sepi dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku kesendirianku)

(Tak peduli ku tak peduli siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti jika Kaulah sandaran hati)


Kembali dada saya tersentak haru oleh dendang lagu pada bait-bait berikutnya.
Teringatku teringat pada janji-Mu kuterikat
Bagaimana tidak, serasa dipaksa untuk kembali bermuhasabah atas kelalaian tak termaafkan.
Robbanaa Dhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa lanakuunanna min al-khaasiriin

Entah masih pantaskah kita mengaku sebagai hamba-Nya yang beriman, sementara kita seolah lupa dengan saat-saat di mana Allah SWT mengambil sumpah atas ruh-ruh manusia untuk mengikrarkan janji setia sebagai hamba yang berkewajiban senantiasa menegakkan syari’at serta sunnatullah di hamparan alam semesta layaknya seorang khalifatullah.
Harusnya kita selalu sadar bahwa kehidupan yang telah Allah anugerahkan kepada kita saat ini adalah sebuah medan di mana kita harus menunaikan janji kita kepada-Nya yang telah kita ikrarkan dalam Alam Musyahadah.
Alastu bi Robbikum?
Qooluu: Balaa, syahidnaa...
Lalu mengapa, masih saja kita tak hendak beranjak dari kedzaliman yang kita perbuat terhadap diri kta sendiri ini?


Wa ma al-hayaatu ad-dunya illaa qaliil
Memang, harus selalu disadari bahwa kehidupan di dunia yang selalu kita agung-agungkan ini semuanya adalah sementara. Tak lebih dari sekejap seperti yang digambarkan dalam lagu di atas
(Hanya sekejap kuberdiri ku lakukan sepenuh hati)
namun, yang perlu kita pahami bukan hanya terletak pada seberapa lama kehidupan fana ini kita jalani, melainkan juga seberapa maksimal kita mengisi kehidupan ini dengan ketakwaan sebagai bekal amal ibadah yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di Hari Perhitungan. Oleh sebab itu, sebagaimana yang tersurat dalam lanjutan bait syair milik Letto di atas yakni keteguhan untuk menjalankan perintah Tuhan dengan sepenuih hati mengingat begitu singkatnya waktu yang Allah berikan kepada kita dalam mengumpulkan bekal hidup di alam kekekalan, akhirat.

Inikah yang Kau mau benarkah ini jalan-Mu hanyalah Engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku bimbing langkah kakiku aku hilang arah tanpa hadir-Mu
Dalam gelapnya malam hariku

Laa haula wa laa quwwata illa billahi al-'Aliyy al-'Adhiim
Tiada daya ataupun upaya melainkan atas pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’ala

Andai Kau Tahu

Tak jua kunjung beranjak, hujan mnegguyur Jakarta tanpa permisi, di saat semua terlelap di peraduan, mengistirahatkan raga yang lelah terbanting penuhi tuntutan kehidupan. Banjir rutin lima tahunan tak lagi peduli siapa yang akan menjadi korbannya, tak kenal miskin atau kaya, kaum papa ataukah para platinum society, semua terlahap habis disapu air bah. Rumah tenggelam, harta benda terhanyutkan, para keluarga terpisah dari sanaknya, sawah-sawah tersulap menjadi danau.

Ironis memang, namun apa hendak dikata, dan siapa hendak dibantah, tak jua akan dapat menghentikan musibah.

Jelas dan tak dapat lagi kita mengelak jika memang telah tersurat dalam firman-Nya bahwa segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini tidak lain adalah sebab tangan-tangan manusia.

Dhoharo al-fasaadu fi al-barri wa al-bahri bi maa kasabat aydiy an-naas.

Namun apa guna meratap, apa guna menyesali, toh sapuan air bah tetaplah terjadi.

Seolah dikomando, masyarakat dengan inisiatif mereka masing-masing bahu membahu melakukan evakuasi warga yang terisolir di rumah-rumah mereka yang tinggal atap. Subhaanallah, Maha Suci Allah. Jika tiada air bah, sulit rasanya dapat kita saksikan pemandangan seperti ini di Jakarta. Tak kenal kawan, tak kenal lawan, semua adalah saudara yang harus dilindungi dan diselamatkan. Daya kreatifitas mereka pun tumbuh dengan sangat mempesona, mengulurkan tali demi membantu saudaranya keluar dari kepungan air, mendirikan posko-posko bantuan kesehatan serta air bersih, bahkan banyak pula kita temui dapur-dapur umum yang sengaja dibangun secara darurat demi menyuplai makanan bagi saudara-saudara yang lain

Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Di balik sebuah musibah pastilah terselip hikmah yang sangat indah jika kita dapat merenungkannya. Persaudaraan, kepedulian, kebersamaan, kesetaraan. Bahkan dalam sebuah wawancara yang saya saksikan di sebuah stasiun televisi, seorang korban banjir dari kalangan ekonomi atas mengutarakan sebuah kesadaran yang teramat menyentuh, “ Bukan Honda saya yang menyelamatkan, bahkan Kijang saya pun tak mampu memberikan bantuan, namun justru saudara-saudara saya yang tinggal di wilayah kumuh di belakang rumah lah yang dikirim Tuhan untuk kami sekeluarga”. Subhaanallah.

11 Januari 2008

Harus Adil Sudah Sejak dalam Pikiran

Terpaksa, itulah awal dari akhirnya saya mau menyentuh buku ini, betapa tidak! Saya yang memang terbiasa tersugesti oleh judul serta cover buku sebelum akhirnya berkenan membacanya itu tentu sediktpun tidak ada rasa tertarik untuk melahap habis novel jadul (jaman dulu) yang satu ini. Tapi teman sekamar saya tetap saja ngotot untuk memaksa saya membacanya dengan jaminan "Loe nggak akan nyesel deh, pokoknya!" begitulah janji yang dia lontarkan sambil menyerahkan novel berjudul BUMI MANUSIA.

Sebuah tetralogi karya sang Maestro Sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Cukup membosankan awalnya, namun semakin saya paksakan untuk menyelesaikan bacaan saya itu mulailah tumbuh rasa penasaran yang membahana, entah apa pemicu utamanya yang jelas saya merasa buku yang saya baca itu sangat jauh berbeda dengan novel-novel yang biasa saya baca.

Seolah diayun-ayun, naik-turun saya dibawa ikut larut terbuai dalam alur cerita tempoe doeloe yang disuguhkan dalam novel ini. Hingga sampailah pada satu scene dimana saya menemukan sebuah ungkapan yang keluar dari salah seorang tokoh yang ikut andil dalam keseluruhan cerita yang menokohkan seorang Pribumi bernama Minke ini. Ungkapan yang mau tak mau memaksa saya untuk sedikit keras dalam berfikir menyelami dan mendapatkan pemaknaan yang tepat, "Harus Adil sudah Sejak dalam Pikiran"

Kesan pertama saat membaca kalimat itu adalah "Wah gila, dahsyat banget kalimat ini, dalem!". Keluarnya komentar itu dari mulut saya bukan berarti serta merta saya sudah mendapatkan kesempurnaan maknanya. Sekali, dua kali, tiga kali, saya coba mengulangi sambil berkerut dahi dan akhirnya setelah bab demi bab terus saya telusuri barulah saya bisa berkata "Ooo… Aku ngerti…!"

Harus Adil Sudah Sejak dalam Pikiran. Tepat sekali, banar-benar kalimat yang sangat brilliant. Bagaimana tidak, di kehidupan real (nyata) baik saat kita menjadi individu ataupun sebagai makhluk sosial, keadilan adalah kunci sebuah kesejahteraan sebab ketidakadilan lah yang hampir selalu membuat kehidupan di dunia ini menjadi tidak harmonis. Tentu semua orang akan setuju akan hal itu, namun pernahkah kita sadar kapan kedilan itu harus ditegakkan?

Dalam ungkapan pendek yang saya cermati dari novel Bumi Manusia ini, saya temukan sebuah jawaban yang entah pertanyaannya pernah dimunculkan ataukah tidak di muka bumi ini, yang jelas harus kita pahami dan yakini bahwa bahkan hanya di alam fikiran saja kita tidak diperkenankan untuk berbuat tidak adil. Lantas seperti apakah sebenarnya contoh dari ketidakadilan dalam fikiran ini? Entah sudah anda sadari atau belum, sebab tindakan itu pasti bukan hal yang asing lagi bagi manusia, satu perilaku yang sering dianggap ringan dan biasa diperbuat namun tragisnya sering tidak disadari ketidaktepatan serta dampaknya. Iya, perbuatan itu tidak lain adalah Suudhdhon atau Negative Thinking.
Astagfirulloh al-'Adhiim…

10 Januari 2008

DEMI MASA (Renungan di Penghujung Tahun)

Seorang pelari yang meraih medali perak Olimpiade bisa merasakan betapa pentingnya makna satu mili detik. Orang yang selamat dari kecelakaan bersyukur atas waktu satu detik untuk bisa menyelamatkan iri. Orang yang ketinggalan kereta tentu menyesali keterlambatannya datang ke stasiun meski hanya satu menit. Pemuda yang sedang menunggu kekasihnya bisa merasakan betapa lamanya waktu satu jam. Seorang pekerja harian merasakan bermaknanya waktu satu hari. Seorang editor majalah mingguan paham benar bagaimana singkatnya waktu satu minggu. Ibu yang melahirkan bayi premature berangan seandainya saja ia melahirkan bulan depan. Seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikan kelas, menatap dengan pandangan kosong panjangnya waktu satu tahun. Orang yang sudah mati… menyadari sungguh bermaknanya arti kehidupan.


Untuk memahami makna SATU TAHUN
Tanyalah seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikan kelas

Untuk memahami makna SATU BULAN
Tanyalah seorang ibu yang melahirkan bayi premature

Untuk memahami makna SATU MINGGU
Tanyalah seorang editor majalah mingguan

Untuk memahami makna SATU HARI
Tanyalah seorang pekerja dengan gaji harian

Untuk memahami makna SATU JAM
Tanyalah seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya

Untuk memahami makna SATU MENIT
Tanyalah seseorang yang ketinggalan kereta

Untuk memahami makna SATU DETIK
Tanyalah seseorang yang selamat dari kecelakaan

Untuk memahami makna SATU MILI DETIK
Tanyalah seorang pelari yang meraih medali perak Olimpiade

Dan akhirnya, sadarkah anda bahwa waktu terus berlalu?
Siapkah Anda mempertanggungjawabkan kepada Allah
Bagaimana Anda menggunakan setiap mili detik waktu Anda?